Bisnis.com, IITATE – Waktu menunjukkan pukul 11.00 siang. Udara di Prefektur Fukushima, Kawasan Tohoku, Jepang, begitu dingin. Salju mulai menumpuk di tanah-tanah kosong. Matahari tidak tampak pada siang itu.
Gerimis yang belum berhenti membuat kami harus mengeluarkan payung ketika turun dari mobil yang berhenti di halaman parkir komplek sekolah di Iitate, sebuah desa di prefektur tersebut.
Kami, empat wartawan Asia termasuk dari Bisnis.com, berkesempatan mengunjungi komplek sekolah yang terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK), 3 Sekolah Dasar (SD), dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jepang pada suatu hari pada awal Maret 2019.
Kunjungan yang hanya berlangsung sekitar 2 jam ini cukup membuka mata kami mengenai kualitas fasilitas sekolah dan internalisasi budaya di salah satu negara paling maju di Bumi ini.
Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang terdampak gempa bumi yang melanda Tohoku pada 2011. Pada 11 Maret 2011 pukul 14.46 waktu setempat, gempa bumi berkekuatan 9 magnitudo meluluhlantakkan sebagian kawasan Tohoku di utara Jepang.
Salah satu area di Sendai, timur laut Jepang, yang hancur akibat tsunami pada 2011./Kyodo News via Reuters
Gempa itu tidak hanya merusak bangunan yang berdiri di sejumlah prefektur seperti Fukushima atau Iwate, tapi juga memicu gelombang laut setinggi 40 meter, yang dikenal sebagai tsunami.
Tsunami yang menyapu sebagian wilayah di sejumlah prefektur itu menghancurkan pemukiman, menewaskan penduduk, serta merusak infrastruktur dan bangunan, termasuk bangunan sekolah. Gempa di hari Jumat itu disebut oleh berbagai sumber sebagai gempa terbesar yang pernah tercatat di Jepang!
Sekolah yang kami kunjungi itu kini berusaha untuk mengembalikan kehidupan normal setelah gempa. Setelah sempat bersekolah di tempat lain selama beberapa waktu selama gedung yang rusak itu direnovasi, para siswa kembali belajar di komplek sekolah tersebut.
Lingkungan sekolah ini sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sekolah kebanyakan di Indonesia. Lingkungannya sangat tenang dan hening. Kendati tidak jauh dari jalan raya, tidak ada kebisingan lalu lintas kendaraan di depan sekolah ini.
Masuk ke dalam gedung sekolah, kami harus melepas sepatu kami. Sepatu itu kemudian diletakkan dalam rak penyimpanan di mana sepatu-sepatu lain telah disusun dengan rapi.
Kami harus menggunakan selop untuk berjalan di lantai kayu yang mengkilat tapi tidak licin itu.
Kesan pertama masuk ke sebuah sekolah Jepang adalah sekolah ini begitu rapi, bersih, tenang, terawat, dan penuh hiasan dinding yang sebagian merupakan karya dari para siswa.
Sulit untuk menemukan sampah yang tercecer di lantai, coretan di dinding, atau debu di atas meja. Ruangan-ruangan di sekolah itu pun terasa begitu luas.
Pada siang itu, kami yang datang ke Jepang atas undangan Pemerintah Jepang, mendapatkan kesempatan untuk makan siang bersama para siswa. Para siswa, laki-laki dan perempuan, di sekolah itu selalu makan bersama makanan yang dimasak langsung di dapur sekolah.
Makan siang bersama-sama di satu ruangan sekolah setiap harinya tidak mudah ditemukan di sekolah-sekolah Indonesia.
Para siswa makan bersama di sebuah ruangan khusus dengan menu yang seragam./Bisnis-Yodie Hardiyan
Sekolah di Iitate ini memiliki dapur khusus untuk memasak makanan bagi para siswa dan guru. Tidak ada kantin atau abang-abang yang berjualan makanan di luar gedung sekolah.
Di ruang makan, para siswa mengambil makanan mereka sendiri menggunakan nampan. Menu siang itu adalah nasi, sup, sayuran, dan susu kotak.
Para siswa duduk menghadap meja panjang. Guru juga ikut.
Ruang makan itu bersih sekali. Dengan sumpit dan tanpa sendok, mereka makan dengan tenang dan khidmat sambil sesekali bercerita dengan suara rendah dengan teman yang duduk di samping.
Setelah selesai makan, mereka tidak meninggalkan nampan beserta piring kotor di meja. Mereka membawanya kembali ke meja di mana mereka mengambil makanan sebelumnya.
Sebagian siswa lain lalu bertugas memilah makanan yang tidak habis dimakan. Mereka tidak hanya makan, tapi juga membersihkan piring.
Sebagian siswa lain mengelap meja yang tadi mereka gunakan untuk makan. Sebelum dan sesudah mereka makan, meja makan berwarna putih itu tampak begitu bersih dan mengkilap. Mereka mengerjakan itu semua tanpa banyak bicara.
Apa kegiatan setelah makan? Sebagian siswa mendapatkan giliran membersihkan ruangan-ruangan di sekolah, mulai dari kelas, lorong, sampai kamar mandi.
Hal itu dilakukan setiap hari secara bergantian untuk menjaga sekolah tetap bersih dan nyaman dipakai oleh mereka sendiri.
Kegiatan makan bersama sampai membersihkan ruangan sekolah oleh para siswa itu menunjukkan sekolah bukan hanya tempat untuk mempelajari ilmu pengetahuan tapi juga kebiasaan atau budaya. Sejak kecil di sekolah, orang Jepang telah dibiasakan untuk melakukan berbagai kegiatan itu.
Dalam kunjungan tersebut, kami diberi kesempatan untuk berbincang-bincang dengan dua siswa sekolah dasar.
Yutoara, salah satunya. Siswa kelas 6 yang menyukai basket dan sepak bola itu mengaku senang sekolah di sana.
Setiap harinya, dia menempuh waktu 1 jam untuk mencapai sekolah dengan menggunakan bus.
"Saya menikmati pemandangan indah dari bus sekolah," kata Yutoara, tentang apa yang dilihatnya setiap hari dalam perjalanan menuju sekolah.
Seorang guru menunjukkan berbagai poster yang perlu dibaca siswa seperti budaya membungkukkan badan atau meletakkan sepatu dengan benar./Bisnis-Yodie Hardiyan
Fasilitas Lengkap
Sekolah yang kami kunjungi memiliki fasilitas yang begitu lengkap. Mereka memiliki ruangan olahraga yang megah, yang dapat digunakan untuk berbagai macam olahraga seperti basket, bulu tangkis, dan bahkan atletik.
Selain ruangan olahraga, ada pula ruang musik, laboratorium, dan perpustakaan. Sama seperti bagian sekolah lainnya, ruangan-ruangan itu begitu bersih, rapi, dan terawat.
Di samping kelengkapan fasilitas fisik, sekolah ini juga mengajarkan dan mengingatkan para siswa dan guru secara terus menerus mengenai budaya Jepang, seperti makan dengan sumpit dan membungkuk sebagai cara untuk menghormati orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua.
Di salah satu dinding, bahkan ada poster yang berisi tata cara membungkukkan badan.
Begitu juga mengenai cara makan dengan sumpit. Di satu sudut sekolah, pihak sekolah meletakkan empat mangkok di atas meja di mana ada 2 mangkok kosong dan 2 mangkok lain berisi biji-bijian.
Siswa bisa berlatih memindahkan biji-bijian itu dari satu mangkok ke mangkok lain menggunakan sumpit.
Pengembangan Diri Siswa
Kunjungan singkat itu mampu menciptakan kesan bahwa lingkungan sekolah di Jepang begitu kondusif untuk belajar. Lingkungan ini bukan hanya tentang fasilitas yang lengkap, tapi juga bagaimana budaya sangat mendukung siswa untuk mengembangkan diri.
Lingkungan yang kondusif tentu saja membuat sekolah terasa nyaman.
Suasana di salah satu ruangan olahraga./Bisnis-Yodie Hardiyan
Seorang wartawan Filipina yang datang ke tempat ini sempat berkelakar, "Kalau sekolah seperti ini, saya akan datang ke sekolah setiap hari."
Secara umum, kualitas pendidikan di Jepang adalah salah satu yang terbaik di dunia. Di antara negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)—organisasi internasional yang memiliki misi mempromosikan kebijakan yang akan mendorong kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat negara anggota—Jepang adalah negara yang memiliki kecapakan paling bagus dalam hal literasi, matematika, dan sains.
Data OECD pada 2015, menunjukkan bahwa Jepang berada di ranking 8 tingkat literasi, posisi ke-5 dalam hal matematika, dan peringkat ke-2 tingkat kecapakan sains.
Ada di mana Indonesia tanya Anda? Untuk tingkat literasi, kita berada di posisi terakhir dari 34 negara, ranking 33 dalam tingkat kecakapan matematika, dan peringkat ke-32 dalam hal sains.
Secara keseluruhan, penduduk Negeri Sakura juga dikenal dengan sikap tepat waktu, disiplin, dan upaya ketat dalam menjaga kebersihan. Ketertiban, kebersihan, kedisplinan, dan semua konsep positif warga Jepang memang tak muncul tiba-tiba, tapi dijaga dan dirawat melalui sebuah organisasi sosial bernama sekolah.