Bisnis.com, JAKARTA -- Indeks sumber daya manusia (Human Capital Index/HCI) yang dirilis oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara investasi di bidang kesehatan dan pendidikan terhadap produktivitas pekerja di sebuah negara.
Misalnya, jika skor HCI sebuah negara naik dari 0,25 menjadi 0,75 maka pertumbuhan tahunan negara tersebut akan bertambah sekitar 1,4% sampai dengan 50 tahun berikutnya.
Sebagai contoh, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke 87 pada HCI yang dirilis pada 2018 dengan skore HCI 0,53. Artinya, setiap manusia di Indonesia memiliki kesempatan 53% untuk mendapat kualitas hidup lebih baik dengan syarat telah menyelesaikan pendidikan dan memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Adapun, Singapura yang menempati peringkat pertama HCI memiliki skor 0,88 atau memiliki potensi SDM berkualitas hingga 88%.
World Bank Development Report (WDR) 2019 yang mengangkat soal isu ketenagakerjaan di seluruh dunia mengatakan investasi sumber daya manusia adalah prioritas untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang terus berkembang.
"Di banyak negara berkembang [developing countries] sebagian besar pekerja berada dalam jenis pekerjaan berproduktivitas rendah, seringkali ditemukan bekerja pada sektor informasl yang memiliki akses teknologi terbatas," tulis pemimpin tim penulis WDR 2019 Simeon Djankov dan Federica Saliola, yang diakses Bisnis pada Kamis (21/2/2019).
Kurangnya pekerjaan pada sektor swasta yang berkualitas mengakibatkan para generasi muda berbakat memiliki opsi terbatas untuk mendapatkan pekerjaan.
Lulusan universitas dengan keterampilan tinggi saat ini mewakili 30% dari pengangguran di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Menurut World Bank, jika pemerintah memberikan akses pembelajaran bagi orang dewasa yang sudah meninggalkan dunia pendidikan akan memberikan kesempatan untuk mengasah keterampilan yang sesuai dengan tren di pasar tenaga kerja.
"Investasi infrastruktur juga diperlukan, khususnya investasi terhadap akses internet yang terjangkau bagi masyarakat negara berkembang yang belum terjamah teknologi komunikasi," tulis mereka.
Negara-negara berkembang berada di tengah-tengah perubahan teknologi yang membawa perubahan pada pola pekerjaan.
Di banyak negara berkembang, permintaan terhadap tenaga kerja berketerampilan tinggi meningkat.
Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada pekerjaan berketerampilan tinggi meningkat 8% hingga lebih di negara seperti Bolivia, Ethiopia, dan Afrika Selatan dari 2000 hingga 2014.
Tetapi perubahan permintaan untuk pekerjaan keterampilan menengah dan rendah lebih heterogen di berbagai negara.
Di Yordania, pangsa pekerjaan dalam pekerjaan keterampilan menengah meningkat 7,5% antara tahun 2000 dan 2016. Sementara itu di Bangladesh, pangsa ini turun hampir 20% pada periode yang sama.
Selain itu, investasi pada infrastruktur fisik seperti jalan, pelabuhan, serta infrastruktur kota yang diperlukan oleh perusahaan, pemerintah dan individu untuk memanfaatkan potensi penuh perkembangan teknologi.
Agar negara dapat beradaptasi dengan perubahan pada pola pekerjaan di era baru, perlu adanya jaminan sosial bagi pekerja.
8 dari 10 orang di negara berkembang tidak menerima jaminan sosial sementara 6 dari 10 orang bekerja tanpa memiliki manfaat asuransi.
Menurut laporan Bank Dunia, peningkatan bantuan sosial dan sistem asuransi akan mengurangi beban manajemen risiko pada regulasi tenaga kerja.
Ketika masyarakat menjadi lebih terlindungi melalui sistem ini, peraturan tenaga kerja bisa disusun lebih seimbang untuk memfasilitasi pola perubahan pada kebutuhan pekerjaan.
Meski demikian, Bank Dunia menyadari untuk mencapai tujuan inklusi sosial tersebut, pemerintah membutuhkan ruang fiskal yang lebih luas.
Sementara masih banyak negara berkembang yang kekurangan dana karena basis pajak yang tidak memadai, sektor informal yang terlalu besar dan administrasi yang tidak efisien.
"Masih banyak ruang untuk perbaikan fiskal. Pemerintah dapat meningkatkan pengumpulan pajak properti di perkotaan atau memberlakukan pajak cukai untuk gula dan tembakau," tulisnya dalam laporan.
Pemerintah juga dapat memanfaatkan penagihan pajak tidak langsung, reformasi program subsidi, hingga mengurangi risiko tax avoidance oleh perusahaan global.