Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pengesahannya masih menggantung akibat penolakan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI.
Ade Armando, Pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) sekaligus koordinator Kelompok Pembela Korban Kekerasan Seksual (KPKS), menyatakan pentingnya mendorong RUU PKS disahkan sebelum Pemilu 2019 berakhir.
"Kalau bisa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa keluar sebelum berakhirnya DPR yang sekarang. Karena kalau enggak mulai dari awal lagi loh itu," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (18/2/2019).
"Mencurigakan, mencengangkan, mengherankan, dan buat marah kenapa ada orang menolak undang-undang yang sedemikian urgen buat Indonesia saat ini, karena kita tahu, kekerasan seksual terjadi setiap hari terutama di kantor, di pabrik, di sekolah," tambahnya.
Ade menyebut adanya wacana bahwa RUU PKS dipengaruhi nilai-nilai feminisme radikal dan bertentangan dengan nilai-nilai agama, sama sekali tidak bisa dibenarkan.
"Hari ini korban kekerasan seksual setiap ditanya 'buktinya apa?' masih sulit menjawabnya karena nggak ada RUU PKS," jelasnya.
"Apalagi sekarang beredar hoaks mengenai RUU PKS kan ada beberapa hoaks yang menunjukkan pasal-pasal yang memungkinkan terjadi aborsi atau apa, kan itu bohong."
Oleh sebab itu, Ade mempertanyakan penolakan dari Fraksi PKS terkait RUU PKS tersebut. Ade menganggap Fraksi PKS telah ke luar dari konteks permasalahan.
"Mereka mengatakan bahwa kenapa UU ini tidak melarang hubungan seks di luar nikah, ya kan bukan UU PKS, dong. Kan ini Penghapusan Kekerasan Seksual. Apa urusannya sama gay, apa urusannya sama hubungan seks di luar nikah, nggak ada," ungkap Ade.
Terlebih, Fraksi PKS menuduh RUU PKS sama saja melegalkan aborsi atau LGBT. Dalam hal ini, Ade menganggap Fraksi PKS tidak bisa memetakan urut-urutan permasalahan dengan sesuai.
"Misalnya gini, yang dilarang adalah aborsi yang dipaksa. Jadi kalau aborsi yang nggak dipaksa boleh? Loh, bukan, maksudnya memaksa aborsi itu nggak boleh. Pasalnya bunyinya begitu kan. Kalau misal pacar kamu, kamu hamilin, terus kamu paksa dia untuk aborsi, itu kena pasal tuh," jelasnya.
"Terus kalau begitu aborsi yang tanpa dipaksa boleh? Loh, interpretasi nya kok jadi sejauh itu sih. UU-nya kan namanya Penghapusan Kekerasan Seksual, larangan aborsi ada di UU lain. Ada loh, UU lain yang melarang aborsi," tambahnya.
Kendati demikian, Ade membenarkan bahwa masalah seks di luar nikah atau perzinahan masih terlalu lunak di Indonesia. Tetapi sikap menolak RUU PKS tidak akan menyelesaikan masalah.
"Kayak hubungan seks di luar nikah, perzinahan, nggak dilarang, ya emang nggak dilarang, namanya juga UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Perzinahan nggak ada urusannya," ungkap Ade
Oleh sebab itu, Ade menyarankan Fraksi PKS seharusnya tetap memperjuangkan hal tersebut, tetapi bukan dengan menolak RUU PKS, melainkan mendorong perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kan yang nggak boleh di Indonesia itu sepasang tapi salah satunya terikat dengan pernikahan lain kan. Sebenarnya banyak orang nggak tahu kalau lebih 20 tahun, laki-perempuan melakukan hubungan seks, itu di indonesia nggak kena zina sebenarnya. Nah, kalau anda mau memperjuangkan itu, perjuangannya nggak di RUU PKS dong. Itu perjuangannya di KUHP, di UU lain," ungkapnya.
"Definisi perzinahan di kita itu terlalu lunak, masak hanya yang terikat pernikahan yang disebut zina. Oke, fine, saya setuju. Silahkan. Kita rancang itu di UU yang lain. Tapi jangan bilang UU PKS mengizinkan itu," tutupnya.