Bisnis.com, JAKARTA -- Tumpang tindihnya regulasi mengenai remisi yang diberikan kepada narapidana menjadi salah satu sumber kerap munculnya polemik tiap kali ada "hadiah" pengurangan masa tahanan dari pemerintah.
Teranyar, muncul kontroversi terkait rencana pemberian remisi kepada Abu Bakar Ba'asyir dan I Nyoman Susrama.
Ba'asyir adalah terpidana kasus terorisme yang divonis 15 tahun penjara dan telah menjalani hukuman selama 9 tahun. Sementara itu, Susrama adalah terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa, dan mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Sebelumnya, ada nama Robert Tantular. Eks Direktur Utama Bank Century itu mendapat remisi sebanyak total 77 bulan dan bebas bersyarat pada Desember 2018. Padahal, dia mendapat vonis total 21 tahun penjara dari 4 kasus yang berbeda.
Mantan Direktur Utama Bank Century Robert Tantular./Antara
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Hukum menyampaikan salah satu regulasi yang menjadi sumber masalah adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Pasal 9 Keppres tersebut menyatakan bahwa napi yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 tahun berturut-turut serta berkelakuan baik dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 tahun.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Hukum menilai pasal tersebut bermasalah karena mengubah konsep remisi dari pengurangan masa pidana menjadi perubahan pidana.
"Keppres 74/1999 itu sudah harus diubah karena bentuknya saja sudah jadul. Dari segi konteks pengaturan, Keppres ini keluar sebelum amandemen UUD selesai. Padahal dalam amandemen UUD, grasi, amnesti, abolisi dan remisi sudah diubah," kata pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivitri Susanti di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Menurut dia, substansi pasal itu bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Koalisi menganggap perubahan pidana bukanlah remisi, melainkan grasi. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi berarti perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Keppres 174/1999 juga menjadi sorotan lantaran produk hukum itu diyakini sebagai sebab munculnya Keppres Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
Sejumlah orang memasuki Lapas Gunung Sindur, tempat Abu Bakar Ba'asyir ditahan, di Bogor, Jawa Barat , Rabu (23/1/2019)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Keppres ini mencantumkan nama I Nyoman Susrama sebagai salah satu terpidana penjara seumur hidup yang berhak mendapat pengurangan hukuman menjadi 20 tahun penjara. Dia adalah otak di balik pembunuhan Prabangsa pada 2009.
Susrama bukan satu-satunya terpidana penjara seumur hidup yang mendapat perubahan pidana berdasarkan Keppres 29/2018. Ada 114 terpidana lain yang juga bernasib sama dengannya.
Anggota Koalisi dan pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengemukakan remisi tak bisa diberikan kepada terpidana penjara seumur hidup. Dia menerangkan jika mau mengubah bentuk hukuman, maka hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan grasi.
"Jika kemudian dikatakan ada dasarnya Keppres 174/1999, maka Keppres tersebut sesungguhnya telah batal demi hukum karena bertentangan dengan UU," ucap Fickar.
Negara Berpotensi Salah
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menganggap negara berpotensi melakukan kesalahan dalam memberi remisi untuk Susrama. Kesalahan mungkin muncul karena Presiden Joko Widodo dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak menelaah rinci daftar napi yang akan diberi remisi.
"Pada kasus Susrama, ada 115 orang yang diberikan remisi. Apakah Kemenkumham atau Presiden baca semua? Saya rasa enggak," tuturnya.
Feri mengatakan negara harusnya melacak terlebih dulu latar belakang pidana yang menjerat seorang terpidana sebelum memberi remisi. Jika pidana yang dilakukan seorang napi tergolong berat, maka harusnya pengurangan hukuman tidak diberikan.
I Nyoman Susrama dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar (26/1/2010)./ANTARA-Nyoman Budhiana
Saran itu disampaikan napi yang berbuat kejahatan berat dikhawatirkan dapat mengulangi perbuatannya jika bebas. Dia menganggap remisi tak bisa diberikan meski napi yang melakukan kejahatan berat sudah berkelakuan baik selama di lembaga pemasyarakatan.
"Saya menyarankan presiden, kalau ada keberatan diajukan ya presiden harus merespons. Ubah keputusannya, jangan kemudian bertahan di sesuatu yang salah. Sesederhana itu keputusan presiden," ucap Feri.
Potensi kesalahan negara juga dianggap bisa muncul karena selama ini ruang pemberian remisi dilakukan tertutup. Pemerintah dinilai harus mengubah prosedur pemberian remisi agar lebih terbuka.
"Kalaupun ada aturan baru, maka harusnya remisi itu transparan, terbuka, bisa diakses masyarakat. Harus ditempatkan di ruang terang," tegas Fickar.
Dalam konteks pemberian remisi untuk Susrama, pemerintah masih mengkaji ulang rencana pengurangan hukuman itu. Kajian ulang dilakukan setelah protes dari banyak pihak, termasuk aliansi jurnalis di sejumlah daerah dan keluarga korban.
“Mengingat adanya reaksi dari masyarakat, khususnya keluarga korban dan rekan media, maka tuntutan agar dicabut pemberian remisi akan dikaji ulang dan saat ini masih dalam pembahasan,” ungkap Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto kepada Bisnis, Rabu (6/2).