Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka terkait proses pemberian izin usaha pertambangan (IUP) terhadap 3 perusahaan di lingkungan Kabupaten Kotawaringin Timur tahun 2010-2012.
Terkait dengan sejumlah pemberian izin tersebut, diduga Supian Hadi selaku Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015 telah menerima mobil mewah dan sejumlah uang dari hasil pemberian Izin Usaha Penambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI) dan PT Aries Iron Mining (AIM).
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan Supian Hadi di antaranya diduga menerima mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp710.000.000, mobil Hummer H3 seharga Rp1.3504000.000 dan uang sebesar Rp500.000.000 yang dlduga dlterima melalui pihak Iain.
Laode juga memaparkan ihwal dari kasus yang diduga menelan kerugian negara senilai Rp5,9 triliun sebagai berikut;
PT Fajar Mentaya Abadi (FMA)
Mulanya, setelah dilantik selaku Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, tersangka Supian mengangkat teman-teman dekat sekaligus tim suksesnya sebagai Direktur dan Direktur Utama pada PT FMA dan mendapat masing masing jatah 5% saham PT FMA.
Kemudian, pada Maret 2011, Supian menerbitkan Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.671 hektare kepada PT FMA yang berada di kawasan hutan.
"Padahal, SH (Supian Hadi) mengetahui bahwa PT FMA belum memillki sejumlah dokumen perizinan, seperti izin lingkungan/Amdal dan persyaratan lainnya yang belum lengkap," kata Laode dalam konferensi pers, Jumat (1/2/2018).
Adapun sejak November 2011, PT FMA telah melakukan kegiatan operasi produksi pertambangan bauksit dan melakukan ekspor ke negara China.
Pada akhir bulan November 2011, kata Laode, Gubernur Kalimantan Tengah mengirimkan surat pada Supian Hadi agar menghentikan seluruh kegiatan usaha pertambangan oleh PT FMA. Namun, PT FMA tetap melakukan kegiatan penambangan hingga tahun 2014.
"Akibat perbuatan SH memberikan izin usaha penambangan pada PT FMA tidak sesuai dengan ketentuan, menurut ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian keuangan negara yang dihitung dari mulai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan hidup dan kerugian kehutanan," ujar Laode.
PT Billy Indonesia (BI)
Pada Desember 2010 dengan memenuhi permohonan PT BI, Supian menerbitkan SK IUP Eksplorasi untuk PT Bl tanpa melalui proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan sebelumnya PT BI tidak memiliki Kuasa Penambangan (KP).
Kemudian, pada Februari 2013, Supian menerbitkan SK IUP tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Penambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT BI meskipun tanpa dilengkapi dokumen AMDAL.
Pada April 2013, Supian selaku Bupati Kotawaringin Timur menerbitkan Keputusan tentang Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Pertambangan bijih bauksit oleh PT BI dan Keputusan tentang Kelayakan Lingkungan Rencana Kegiatan Pertambangan Bijih Bauksit oleh PT Bl.
Dengan berdasarkan perizinan tersebut, maka sejak Oktober 2013, PT BI melakukan ekspor bauksit. "Akibat perbuatan SH tersebut maka PT BI telah melakukan kegiatan produksi yang menurut ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian yang dihitung dari hasil produksi senilai setelah dikurangi royalti yang telah dibayarkan dan Kerugian lingkungan," ujar Laode.
PT Aries Iron Mining (AIM)
Pada April 2011, Supian menerbitkan IUP Eksplorasi PT AIM tanpa melalui proses Ielang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Padahal, PT AIM sebelumnya tidak memiliki Kuasa Penambangan (KP). Akibat perbuatan tersebut, PT AIM melakukan kegiatan eksplorasi yang merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian Iingkungan.
"Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp5,8 trlliun dan US$ 711.000 yang dihitung dari produksi hasil pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT Bl dan PT AIM," kata Laode.
Atas perbuatannya, Supian Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP