Kabar24.com, JAKARTA — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Buru, Maluku, meminta Mahkamah Konstitusi atau MK turun tangan menyelesaikan perselisihan klaim penguasaan dua desa dengan Pemerintah Kabupaten Buru Selatan.
Dua desa itu, Waehotong dan Batu Karang, menjadi rebutan Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan. Buru Selatan yang dimekarkan dari Buru lewat UU No. 32/2008 mengklaim sebagai pemilik dua desa tersebut.
Sebaliknya, selama beberapa tahun ini, Pemkab Buru mengklaim telah menjalankan pelayanan publik di Waehotong dan Batu Karang. Secara hukum, perangkat dua desa tersebut juga bertanggung jawab ke Pemkab Buru. Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Provinsi Maluku telah mencoba menyelesaikan masalah tersebut, tetapi hasilnya nihil.
Karena itu, Pemkab Buru dan DPRD Buru mengajukan gugatan terhadap UU 32/2008, terutama Pasal 3 ayat (2) yang mencantumkan cakupan wilayah Buru Selatan beserta lampiran peta wilayah. Mereka meminta MK memasukkan Waehotong dan Batu Karang sebagai wilayah administratif Buru.
Selain tidak berjalannya program, rebutan tersebut berimplikasi secara administrasi kependudukan dan pemilu. Menurut pemohon, potensial terjadi warga dua desa tersebut masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) ganda karena bakal tercatat di dua kabupaten.
“Bahwa oleh karena Pemkab Buru dapat melaksanakan wewenangnya dalam hal menjalankan kegiatan pelayanan publik di Waehotong dan Batu Karang maka terhadap Pasal 3 ayat (2) berikut lampiran peta wilayah agar tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1)-ayat (2) dan Pasal 25A UUD 1945 perlu ditafsirkan secara bersyarat,” kata Fahri Bachmid, kuasa hukum pemohon, dalam berkas permohonan yang diajukan di Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Perselisihan atau dualisme pengelolaan desa bukan kali ini saja mengemuka di MK. Tahun lalu, sidang sengketa hasil Pemilihan Gubernur Maluku Utara 2018 menemukan fakta dualisme penguasaan enam desa antara Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat.
Dualisme itu membuat sebagian warga enam desa yakni Bobaneigo, Paser Putih, Tatewang, Akelamo Kao, Gamsugi, dan Dumdum, menolak mengunakan hak pilih pada 27 Juni. Buntut masalah tersebut, MK memerintahkan pencoblosan ulang agar seluruh warga bisa menggunakan hak pilihnya.