Bisnis.com, JAKARTA - Banyaknya mekanisme yang mengatur proses perekrutan dinilai sebagai salah satu penyebab munculnya permasalahan pada mahasiswa program kuliah-magang di Taiwan.
Demikian disampaikan Direktur Perlindungan WNI dan BHI Lalu Muhammad Iqbal.
"Jadi persoalannya adalah terlalu banyak mekanisme. Ada mekanisme kuliah melalui Dikti, Pemprov Bangka Belitung, lewat yayasan. Tidak satu pintu," kata Iqbal di Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Iqbal menilai program kuliah-magang bertajuk Academia-Industry Collaboration yang dijalankan universitas-universitas di Taiwan sesungguhnya bertujuan baik.
Program tersebut memungkinkan pelajar Indonesia, yang memiliki keterbatasan dana untuk kuliah secara mandiri, dapat melakukan pembiayaan melalui magang dan kerja sampingan. Namun, ujarnya, hal tersebut belum diikuti tata kelola yang baik.
Kendati tim perwakilan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei tidak menemukan indikasi kerja paksa dari 8 universitas yang dikunjungi, Iqbal memaparkan dugaan pelanggaran tersebut masih ada.
Baca Juga
Pelanggaran berupa jam kerja yang melebihi batas aturan otoritas Taiwan kemungkinan berasal dari universitas yang belum disurvei. Hal ini misalnya, dialami mahasiswa yang berangkat melalui mekanisme kerja sama Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan universitas di Taiwan.
"Permasalahan jam kerja berlebihan terletak di pihak perantara yang menghubungkan mahasiswa dan universitas. Merekalah yang mempekerjakan mahasiswa melebihi jam kerja. Aturan sebenarnya melarang mahasiswa tahun pertama untuk bekerja lebih dari 20 jam karena mereka mendapat beasiswa dari otoritas Taiwan. Tahun kedua baru boleh kerja 40 jam seminggu," papar Iqbal.
Iqbal membeberkan bahwa pelanggaran yang diduga dilakukan perantara atau pihak ketiga terjadi di Indonesia, juga Taiwan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, calon mahasiswa bahkan diminta membayar Rp15 juta hingga Rp30 juta sebelum berangkat ke Taiwan.
"Kami masih mengumpulkan data yang lebih lengkap dan kita masih memikirkan tata kelola terbaik. Dengan Kemristekdikti pun kita sudah sepakat untuk mencari tata kelola yang lebih baik," tambah Iqbal.
Pemerintah Indonesia menghentikan untuk sementara pengiriman mahasiswa program kuliah-magang di Taiwan. Hal itu dilakukan setelah sebuah laporan dari media Taiwan menyebut adanya dugaan kerja paksa terhadap mahasiswa asal Indonesia.
Mahasiswa Indonesia dikabarkan dipekerjakan melebihi batas waktu yang telah diatur Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan. Para mahasiswa program ini bekerja selama empat hari dengan durasi kerja 10 jam per hari dan hanya menjalankan perkuliahan selama dua hari.
Otoritas Taiwan telah menyangkal tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa jam kerja sebanyak 40 jam dilakukan mahasiswa tahun kedua sebagai bagian dari skema kuliah-magang berdurasi 20 jam. Sisanya adalah kerja sampingan yang merupakan pilihan dari mahasiswa terkait.