Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ada sekitar 7 juta anak yang berpotensi kehilangan hak pilihnya. Padahal, sebanyak 7 juta anak tersebut telah berusia 17 tahun pada hari H pemilihan umum meskipun belum memiliki KTP elektronik (e-KTP). Komisioner KPAI Jasra Putra mengatakan, hal tersebut menjadi salah satu sorotan selain kerentanan anak sebagai korban penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
"Ada kurang lebih 7 juta anak yang berpotensi kehilangan hak pilih padahal pada hari H pemilu mereka telah berusia 17 tahun," katanya di Kantor KPAI, Jakarta, Selasa (8/1/2018).
Dia melanjutkan, oleh karena itu tahun lalu KPAI telah menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Badan Pengawas Pemilu. Nota kesepamahaman tersebut memuat sejumlah hal terkiait keterlibatan anak dalam Pemilu, salah satunya meminta Bawaslu memastikan bahwa 7 juta anak tersebut tidak kehilangan hak pilihnya.
Momentum Pilkada, Pileg dan Pilpres, juga menjadi bagian dari concern KPAI sepanjang tahun 2018 dan tahun 2019 yang sedang berjalan. Kerentanan anak sebagai korban penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik cukup tinggi.
"Bagaimana 7 juta anak yang berpotensi tidak mendapat hak pilih, Bawaslu tentu kami harap bisa mengambil langkah-langkah strategis," katanya.
Selain itu, anak juga sangat rentan untuk disalahgunakan dalam kegiatan politik, meliputi pelibatan anak dalam kampanye, hingga penggunaan fasilitas pendidikan untuk kegiatan politik. Hal tersebut juga menjadi bagian dari kesepakatan antara KPAI dan Bawaslu.
"Ini terus kami komunikasikan, walaupun di sisi lain, di Undang-Undang Perlindungan anak tidak ada sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran itu," katanya.