Bisnis.com, JAKARTA - Jepang berhasil membalap dominasi kegiatan merger dan akuisisi China di kawasan Asia sepanjang tahun lalu. Terakhir kali Jepang merebut posisi China pada tahun 2012
Saat ini perusahaan Jepang tercatat memiliki dana tunai hingga lebih dari US$890 miliar yang dapat dibelanjakan secara masif pada 2019.
Berdasarkan data Bloomberg, perusahaan Jepang mengumumkan lebih dari 1.000 akuisisi offshore dengan total rekor US$191 miliar sepanjang tahun lalu yang ditutup dengan akuisisi fantastis Shire Plc. oleh Takeda Pharmaceutical Co. senilai US$62 miliar.
Selain Takeda, aksi akuisisi offshore juga dilakukan perusahaan seperti Renesas Electronics Corp. yang mengambil alih saham Integrated Device Technology Inc. sekitar US$6,7 miliar dan akuisisi bisnis jaringan listrik ABB Ltd. oleh Hitachi Ltd. senilai US$11 miliar.
Kepala Merger dan Akuisisi JPMorgan Chase & Co. di Jepang Koichiro Doi mengatakan dalam sebuah wawancara yang dikutip melalui Bloomberg bahwa perusahaan Jepang sangat bersemangat untuk melakukan transaksi investasi asing atau offshore secara besar-besaran.
Amerika Serikat akan menjadi tujuan investasi yang paling diminati, sebagian besar karena pasar di Amerika saat ini sedang tumbuh. Menurut Doi, 2018 adalah tahun tersibuk sepanjang karirnya selama dua dekade.
Jumlah transaksi akan meningkat pada sektor industri, konsumer, dan perusahaan teknologi. Namun, Doi menambahkan, mungkin tidak akan ada nilai investasi setinggi yang dilakukan Takeda pada tahun lalu.
Proses akuisisi Shire, perusahaan farmasi asal Inggris, oleh Takeda yang diperkirakan selesai pada pekan ini merupakan akuisisi terbesar yang diumumkan pada tahun lalu.
Tahun ini, diproyeksikan akan ada jenis akuisisi serupa menyusul kesepakatan akuisisi antara perusahaan farmasi asal AS, Bristol-Myers Squibb Company, dengan Celgene Corporation yang ditaksir mencapai US$74 miliar.
Negara sakura ini sebenarnya telah lama mencari momentum yang tepat untuk melakukan ekspansi anorganik di luar negeri melalui skema akuisisi, namun rekam jejak Jepang dari segi kecakapan mereka melakukan merger dan akuisisi tidak begitu cemerlang.
Pada tahun 1980-an, ketika harga saham melonjak tajam, Jepang menghamburkan uangnya secara arogan dan membeli berbagai jenis aset dari gedung Rockefeller Center di Manhattan, Golf Course Pebble Beach di California, hingga lukisan bunga matahari karya Vincent Van Gogh.
Bahkan pada saat yang sama Sony Corporation dan Panasonic Corporation membeli studio di Hollywood. Namun, bersamaan dengan gelembung ekonomi Jepang, sebagian besar dari aset tersebut akhirnya dijual dengan harga miring.
Keadaan ekonomi Jepang mulai membaik pada pergantian abad, tahun 2000-an sejumlah perusahaan seperti NTT DoCoMo Inc., Toshiba dan Nomura Holdings Inc. mulai membuka pintu aksi akuisisi. Salah satunya dengan akuisisi unit bisnis nirkabel AT&T Inc. oleh NTT DoCoMo Inc.
Hasilnya, Jepang kembali menguasai aset sebesar miliaran dolar dengan pendekatan kerjasama asing yang lebih konservatif. Ada tanda-tanda bahwa Jepang telah belajar dari kesalahan lampau jika memperhatikan proses tawar menawar yang menjadi lebih kompleks.
Berdasarkan data Bloomberg, tahun lalu, perusahaan Jepang biasanya bersedia untuk membeli saham dengan harga 23% di atas nilai pasar, angka tersebut lebih rendah dari tawaran rata-rata pada 2013.
Selain itu, ruang gerak perusahaan untuk melakukan ekspansi anorganik untuk menyerap lebih banyak uang tunai menjadi lebih terbatas sebelum mendapat kecaman dari para pemegang saham.
"Perusahaan-perusahaan Jepang mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membelanjakan uang lebih efisien," kata Akifusa Takada, Kepala Praktik Merger dan Akuisisi di firma hukum Baker McKenzie di Tokyo.
“Tidak banyak perusahaan Jepang yang mau membagikan uang tunai kepada pemegang saham sebagai dividen. Mereka melihat dana ini sebagai sumber daya untuk mengembangkan bisnis di luar negeri," tambahnya.