Bisnis.com, JAKARTA — Sistem zonasi tenaga pengajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih memiliki beberapa catatan sebelum bisa berjalan secara efektif.
Hal ini diungkapkan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi di Jakarta, Senin (10/12/2018). Dia berharap Kemendikbud terlebih dahulu menyelesaikan persoalan-persoalan guru yang masih mengganjal, yaitu dari segi kualitas, pemenuhan hak-hak, dan perlindungan kepada guru.
"Kalau persoalan guru tidak pernah diselesaikan, maka akan menjadi persoalan yang terus menerus bagaimanapun kebijakan yang dibuat," jelas Unifah.
Dia menekankan perlunya perhatian terhadap peningkatan mutu dan kualitas guru. Untuk itu, PGRI telah membuat skema tata kelola yang akan dipaparkan kepada Kemendikbud.
Upaya PGRI tersebut bertujuan agar tidak muncul stereotip bahwa guru kurang bisa beradaptasi dengan kebijakan, sehingga guru nantinya disalahkan ketika kebijakan tidak berjalan sesuai harapan.
"Dari segi kualitasnya, itu kalau ada isu atau kebijakan, itu paling mudah dipersoalkan karena gurunya tidak berubah. Itu yang saya ingin ubah hari ini," ungkap Unifah.
Guru yang berkualitas, berdedikasi, dan tercukupi pun diyakini mampu menggerakkan enam standar pendidikan lainnya.
Contoh salah satu hambatan sistem zonasi yang bersumber dari kualitas guru tercermin dari evaluasi kebijakan Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T). Dari program tersebut, tercermin bahwa implementasi sistem zonasi guru yang nantinya berlangsung dengan memutasi guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) agar bersedia ditempatkan di mana saja, justru bisa terganggu lewat keengganan dari guru itu sendiri.
"Kebijakan yang kemarin saja, anak-anak yang dikirim ke 3T, sekarang sudah meminta kepada kami dengan berbagai alasan untuk pindah ke kota. Jadi yang 3T kemarin, yang dikirim, juga ternyata tidak bisa menahan mereka untuk tetap tinggal [di daerah]," ungkap doktor dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Hal yang bisa menjadi solusi adalah merekrut guru dengan melihat potensi yang ada di daerah tersebut dan memilih orang yang mencintai daerah terkait. Langkah ini diyakini bakal jauh lebih efektif.
Hal ini pun terkait dengan mutu dan kualitas guru dari segi kompetensi sosial. Unifah mendorong pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai tersebut sejak calon guru masih menjalani masa pendidikan di kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Selain itu, PGRI juga mendorong pemerintah agar anggaran pendidikan tercukupi untuk meningkatkan kualitas guru.
"Setelah kami analisis di anggaran pendidikan, pendidikan itu 20% APBN dan 20% APBD. Saya sering ke daerah dan menyatakan kami sudah 30%, dan 30% itu habis untuk urusan gaji dan lain sebagainya. Sehingga, untuk mutu hanya tersisa 10%," terang Unifah.
Oleh karena itu, anggaran pendidikan dinilai mesti ditingkatkan agar kualitas guru bisa ikut meningkat.