Bisnis.com, JAKARTA — Jepang turun tiga peringkat ke posisi tujuh dalam pemeringkatan tata kelola perusahaan (corporate governance) di Asia, berdekatan dengan India serta berada di bawah Thailand dan Malaysia.
Dalam survei dua tahunan oleh Asian Corporate Governance Association (ACGA) dan CLSA, yaitu broker yang mencermati lingkungan bisnis di Asia, penurunan peringkat tata kelola perusahaan Jepang disebabkan oleh kasus penangkapan Direktur Nissan, Charlos Ghosn pada bulan lalu karena penyelewengan keuangan.
Sejauh ini, Ghosn belum memberikan pernyataan resmi lewat pengacaranya. Akan tetapi, media Jepang melaporkan bahwa dia menolak segala tuduhan. Adapun Jepang sebagai rumah bagi pasar modal terbesar kedua di dunia sempat bertahan di posisi teratas dalam peringkat tersebut.
Apalagi setelah kode pengelolaan (stewardship code) diperkenalkan pada 2014, yang membuat para pengelola keuangan domestik dapat lebih aktif mempertanyakan produktivitas dewan direksi dan manajemen perusahaan. Namun kali ini, laporan ACGA/CLSA tampil mengkritik kegagalan Tokyo dalam mengambil langkah yang lebih tegas.
“Meskipun penting, fokus terhadap hukum yang lunak dan tidak mengubah regulasi menjadi lebih tegas berarti regulator belum dapat menyelesaikan masalah kurangnya hak pemegang saham minoritas,” tulis laporan yang berjudul Corporate Governance Watch, yang digunakan sebagai pemeringkat tata kelola perusahaan di kawasan Asia selama lebih dari sedekade, seperti dikutip Reuters, Rabu (5/12/2018).
Laporan tersebut juga memperingatkan, sejauh ini realitas di dalam rapat dewan direksi beberapa perusahaan di Jepang masih belum banyak berubah kendati pemerintah telah berusaha meningkatkan tata kelola perusahaan dengan membentuk pengawas dewan direksi lewat direktur independen dan komite audit.
Secara keseluruhan, laporan tersebut menunjukkan bahwa Australia berada di peringkat atas dengan skor 71, kendati ada beberapa kasus penyelewengan juga dalam sektor keuangan di sana.
Sementara itu, Hong Kong dan Singapura menyusul d bawahnya dengan skor masing-masing 60 dan 59 dan Jepang merupakan negara yang paling jauh turun peringkatnya dengan skor 54.
Kendati laporan tersebut memuji Australia, Hong Kong dan Singapura justru mendapatkan kritik terkait aturan pasar valas di sana. Adapun pada tahun ini, Hong Kong dan Singapura telah sama-sama membentuk aturan yang mengizinkan perusahaan dapat mencatatkan dual aset saham (dual-class shares/DCS).
Adapun DCS menawarkan kekuatan voting yang lebih besar kepada eksekutif tinggi perusahaan dan diharapkan dapat menarik perusahaan-perusahaan besar, khususnya raksasa teknologi, untuk mendaftarkan sahamnya di bursa negara-negara yang mengizinkan DCS.
Namun demikian, beberapa aktivis tata kelola perusahaan menolak struktur DCS tersebut karena dikhawatirkan dapat disalahgunakan oleh ‘orang dalam’ di perusahaan.
Jamie Allen, Sekretaris Jenderal dari ACGA, menyampaikan dalam laporannya bahwa asosiasi perusahaan khawatir mengenai “efek menular” karena perubahan aturan di Hong Kong dan Singapura tersebut.
Dia mengacu kepada indikasi bahwa Korea Selatan sekarang tengah mempertimbangkan untuk mengambil langkah yang serupa.
“Advokat dari DCS sekarang berusaha membuat [DCS] menjadi normal yang baru, diiringi obsesi untuk menarik angka IPO (penawaran umum saham perdana) yang menjadi pengukuran kesuksesan pasar modal,” tulis laporan tersebut.
Adapun, Indonesia bersama China dan Filipina berada di posisi bawah dalam peringkat tata kelola perusahaan tesebut, dengan skor masing-masing 34, 41, dan 37.