Bisnis.com, JAKARTA- Kelompok masyarakat sipil menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara No.13/PUU-XVI/2018 perihal pengujian Undang-undang No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional 22 November 2018.
Tim Advokasi untuk Keadilan Ekonomi, yang tergabung dari beberapa kelompok masyarakat sipil Indonesia dan lima orang petambak garam, menyambut dengan sangat baik Putusan hakim MK ini.
Mereka menganggap putusan ini merupakan kemenangan demokrasi rakyat karena telah menghadirkan norma hukum baru dalam perjanjian internasional.
Kuasa Hukum dari Tim Advokasi untuk Keadilan Ekonomi, David Sitorus, menyampaikan bahwa majelis hakim MK memutuskan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 1.
Adapun beberapa pasal yang diujikan atas UUPerjanjian Internasional yakni Pasal 2, pasal 9, pasal 10 dan 11. Keempat pasal tersebut diujikan karenadianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses perundingan perjanjian Internasional.
“Walaupun MK hanya mengabulkan sebagian dari seluruh permohonan, namun bagi kami, putusan terhadap pasal 10 Undang-undang Perjanjian Internasional inilah yang merupakan jantung dari gugatan tersebut.
Baca Juga
Hal ini karena isi putusan ini telah menjadi pendobrak atas pembaharuan sistem hukum nasional khususnya yang terkait dengan Perjanjian Internasional dengan dinamika perubahan masyarakat global yang perlu disesuaikan”, tuturnya, Senin (26/11/2018).
Lebih lanjut David menjelaskan bahwa persoalan inti dalam gugatan ini terkait mengenai pembagianperjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR dan mana yang tidak.
Ketentuan tersebut diatur pada pasal 10 dan 11 UUPI. “Ini adalah wilayah abu-abu dalam praktek pembuatan kebijakan, yang jika tidak secara hati-hati diputuskan maka akan berakibat fatal bagi kepentingan nasional”.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyampaikan bahwa Putusan MK telah memberikan kriteria yang lebih terbuka atas perjanjian internasional yang mengharuskan Persetujuan DPR RI.
Menurutnya, selama ini khusus seperti Perjanjian Perdagangan Bebas dan Perjanjian Investasi bukanlah perjanjian internasional yang mengharuskan adanya persetujuan DPR RI, sehingga hilanglah kontrol rakyat atas kedaulatan negara.
“Contohnya adalah perjanjian perdagangan dan perjanjian perlindungan penanaman modal dalam dinamika perkembangan global hari ini, ternyata memiliki dampak luas bagi kehidupan rakyat tetapi dalam proses pengesahannya tidak memerlukan persetujuan DPR RI.
Oleh karena itu, dua perjanjian ini tidak bisa lagi hanya disebut perjanjian internasional yang mengatur hal-hal teknis dan procedural”,jelas Rachmi.
Dia menambahkan, bahwa dengan putusan ini, ke depan ada beberapa konsekuensi hukumnya yakni perjanjian internasional yang akan diratifikasi, harus tunduk dengan Putusan MK ini.
Khusus terkait dengan Perjanjian perdagangan bebas dan investasi, ada beberapa yang sudah selesai dibahas dan akan masuk pada tahap ratifikasi seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Indonesia -Singapura Bilateral Investment Treaty (BIT).
Oleh karena itu, perjanjian-perjanjian yang akan diratifikasi tersebut harus dicermati sebagai perjanjian yang penting sehingga mengharuskan adanya Persetujuan DPR.
“Seperti Bilateral Investment Treaty antara Indonesia dan Singapura yang baru saja ditandangani, maka proses ratifikasinya harus melalui persetujuan DPR. Bahkan, tindakan sepihak Pemerintah yang mengambil-alih ratifikasi 6 perjanjian dari tangan DPR RI beberapa waktu lalu, telah bertentangan dengan Konstitusi berdasarkan Putusan ini”, tambahnya .
Bahkan lebih lanjut Tim advoksi untuk Keadilan Ekonomi mendorong agar dilakukan proses peninjauan ulang (review) terhadap seluruh perjanjian internasional, khususnya terhadap perjanjian perdagangan, investasi, dan utang luar negeri, untuk memenuhi unsur keadilan sosial dan selaras dengan amanat konstitusi.
Dalam pembacaan putusan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1).
Beberapa pasal yang diujikan atas UU Perjanjian Internasional yakni Pasal 2, pasal 9, pasal 10 dan 11. Keempat pasal tersebut diujikan karena dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses perundingan perjanjian Internasional.