Bisnis.com, JAKARTA -- Tersangka kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Billy Sindoro, akhirnya keluar dari gedung KPK dengan mengenakan rompi oranye setelah menjalani pemeriksaan yang dimulai pada tengah malam kemarin.
Billy tiba di KPK sekitar pukul 23.30 wib bersama dengan penyidik dan langsung masuk ke dalam gedung. Direktur Operasional Lippo Grup tersebut kemudian keluar dari KPK mengenakan rompi oranye sekitar pukul 15.15 wib, Selasa (16/10/2018).
Tidak ada komentar dari Billy Sindoro terkait dengan perkara yang sedang menimpanya seusai diperiksa.
Namun, bukan kali ini saja Billy tersangkut kasus penggelontoran dana untuk kepentingan bisnis.
KPK mencatat laki-laki yang berprofesi sebagai Komisaris Lippo Group pada 2009 dinyatakan terbukti melakukan penyuapan.
Menanggapi kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pihak yang mengerjakan proyek Meikarta mengatakan akan melakukan investigasi internal dan bekerjasama penuh dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Baca Juga
Hal tersebut disampaikan melalui Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) selaku kuasa hukum PT MSU.
"Langkah pertama kami adalah, PT MSU langsung melakukan investigasi internal yang independen dan obyektif untuk mengetahui apa sebenarnya fakta yang terjadi," ujar Denny Indrayana, Senior Partner di Kantor Hukum tersebut.
Terkait dengan penyimpangan kebijakan perusahaan, PT MSU menyatakan tidak mentolerir dan akan menjatuhkan sanksi tegas.
"Kami tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi dan tindakan tegas kepada oknum yang melakukan penyimpangan tersebut," lanjutnya.
Sejauh ini, KPK menduga pemberian kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait dengan perizinan properti proyek Meikarta oleh pihak swasta semakin menguat.
KPK menemukan sejumlah bukti dan konfirmasi dari para saksi dan tersangka dalam pemeriksaan yang masih berlangsung hingga saat ini.
"Dari sejumlah bukti dan konfirmasi para saksi dan tersangka, dugaan pemberian kepada Bupati (Bekasi) semakin menguat terkait perizinan ini. Termasuk pertemuan-pertemuan yang pernah dilakukan dengan pihak swasta dalam pengurusan izin," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (16/10/2018).
Tiga tersangka dalam kasus suap trkait perizinan Meikarta masih dalam proses pemeriksaan di KPK.
Sementara itu, pihak lain yang diamankan saat operasi tangkap tangan (OTT) kemarin secara bertahap telah keluar pada dini hari tadi (15/10/2018).
Untuk tersangka Neneng Rahmi yang sebelumnya sempat gagal diamankan saat OTTT, yang bersangkutan telah menyerahkan diri dan mulai mengakui bbrpa perbuatannya.
Neneng Rahmi diduga menerima uang SGD90 ribu, namun saat penyerahan diri tadi belum bisa membawa uang tersebut," lanjut Febri.
Ancaman pidana untuk penerimaan suap atau gratifikasi sangat tinggi yaitu maksimal 20 tahun atau seumur hidup (Pasal 12 a, b atau Pasal 12 B).
Secara resmi KPK telah menetapkan Direktur PT Operasional Lippo Grup Billy Sindoro sebagai salah satu tersangka kasus dugaan suap perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Selain Billy, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka penerima.
"Disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji kepada Bupati Bekasi dan kawan-kawan terkait pengurusan perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi," ujar Wakil Pimpinan KPK Laode Muhammad Syarif di KPK, Jakarta, Senin (15/10/2018).
Selain kedua tersangka tersebut di atas, KPK menetapkan tujuh orang lainnya sebagai tersangka, yaitu sebagai pihak pemberi Taryudi, Konsultan Lippo Grup; Fitra Djaja Kusuma, Konsultan Lippo Grup; dan Henry Jasmen, Pegawai Lippo Grup.
Sementara itu, sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek Meikarta seluas total 774 hektar diduga dibagi ke dalam tiga fase, yakni fase pertama 84,6 ha; fase kedua 252,6 ha; dan fase ketiga 101,5 ha.
Selain itu, KPK menduga pemberian dalam perkara ini sebagai bagian dari komitmen fee proyek pertama dan bukan pemberian pertama dari total komitmen Rp13 miliar melalui Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, dan DPM-PTT.
"Diduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas pada April, Mei, dan Juni 2018," lanjut Laode.
Dari lokasi OTT, KPK mengamankan barang bukti berupa Uang SGD90 ribu dan uang dalam pecahan Rp100 ribu total Rp513 juta. KPK juga mengamankan dua unit mobil Toyota Avanza dan Toyota Innova.
Sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pihak yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Khusus untuk Jamaludin, Sahat MBJ Nahor, Dewi Tisnawati, dan Neneng Rahayu disangkakan melanggar Pasal U huruf a atau Pasal U huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.