Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi mengidentifikasi penggunaan kode atau kata sandi yang digunakan dalam transaksi korupsi di Pasuruan.
Ditemukan istilah "kanjengnya" yang diduga oleh KPK sebagai kode untuk wali kota.
Selain itu, istilah "ready mix", "campuran semen", dan "apel" digunakan sebagai kata ganti dari komitmen fee.
KPK telah menahan empat tersangka kasus Pasuruan selama 20 hari pertama.
Keempat orang tersangka tersebut adalah:
- Wali Kota Pasuruan Setyono
- Staf Ahli atau Pelaksana Harian Kadis PU Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo
- Staf Kelurahan Purutrejo Wahyu Tri Hardianto
- Muhamad Baqir, pihak swasta, pemilik CV. M selaku terduga pemberi
Tersangka Muhamad Baqir ditahan di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan, Wahyu Tri Hardianto dan Dwi Fitri Nurcahyo ditahan di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat, sedangkan Setyono ditahan di Rutan cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Baca Juga
"Diduga Setyono menerima hadiah atau janji dari rekanan atau mitra Pemkot Pasuruan terkait proyek belanja modal gedung dan bangunan pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu - Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PLUT--KUMKM) pada dinas Koperasi dan Usaha Mikro di Pemkot Pasuruan dengan sumber dana APBD Tahun Anggaran 2018," ujar Wakil Pimpinan KPK Alex Marwata.
KPK menduga proyek-proyek di lingkungan Pasuruan telah diatur oleh Setyono selaku Wali Kota melalui tiga orang dekatnya dan terdapat komitmen fee antara 5% sampai 7% untuk proyek bangunan dan pengairan.
Dalam perkara ini digunakan istilah "trio kwek kwek" terkait tiga orang kerabat Setyono.
Komitmen fee yang disepakati untuk Setyono adalah 10% dari harga perkiraan sendiri (HPS), yakni Rp2.297.464.000 ditambah 1% untuk kelompok kerja.
Pemberian dilakukan secara bertahap, yaitu 24 Agustus 2018, Muhamad Baqir transfer ke Wahyu Tri Hardianto Rp20 juta (1% untuk Pokja) sebagai tanda jadi.
Pada 4 September 2018, CV. M ditetapkan sebagai pemenang lelang dengan nilai kontrak Rp2.210.266.000.
Pada 7 September 2018, Muhamad Baqir kembali menyetorkan uang tunai kepada Setyono melalui pihak-pihak perantaranya sebesar 5% atau kurang lebih sebesar Rp115 juta.
Sisa komitmen 5% lainnya akan diberikan setelah uang muka termin pertama cair.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Muhamad Baqir disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.
Sementara itu sebagai pihak penerima Setyono, Dwi Fitri Nurcahyo, dan Wahyu Tri Hardianto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.