Bisnis.com, JAKARTA – Persoalan penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim mengharuskan Syafruddin A. Temenggung untuk mempertanggungjawabkannya di pengadilan. Sanggupkah dia lolos dari jeratan hukum?
Setelah puluhan saksi dihadirkan oleh penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), giliran Syafruddin mendapatkan panggung untuk menyampaikan pembelaan dirinya terhadap dakwaan, dalam agenda pemeriksaan terdakwa Kamis (23/8/2018).
Sambil menanti sidang dimulai, dia ramah bercengkerama dengan para penuntut umum dari komisi antirasuah meski pada persidangan sebenarnya mereka berseberangan pendapat dan saling menunjukkan bukti yang dianggap paling sahih kepada majelis hakim.
Begitu majelis memasuki ruangan, Syafruddin langsung mengambil tempat di kursi terdakwa, persis di hadapan majelis. Entah kenapa, ketua majelis, Yanto yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat langsung mempersilakan Syafruddin duduk pada deretan kuasa hukum terdakwa.
“Oh iya agenda hari ini pemeriksaan terhadap terdakwa,” katanya.
Begitu sidang dimulai, penuntut umum langsung mencecar Syafruddin dengan berbagai pertanyaan yang bermuara pada penerbita surat keterangan lunas (SKL) kepada taipan Sjamsul Nursalim pada 2004 silam.
"Karena kewajibannya sudah selesai," kata Syafruddin menjawab pertanyaan salah satu jaksa penuntut umum KPK yang menanyakan kenapa SKL diberikan kepada Sjamsul.
Jaksa pun kembali bertanya SKL itu diberikan meskipun masih ada hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmaja (DCD). Menurut Syafruddin, itu bukan menjadi urusan lagi karena Sjamsul sudah memenuhi kewajibannya. "Itu bukan urusan," ucapnya.
Syafruddin kemudian menerangan paparan yang sudah dibuatnya soal Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
“Begini, ini konsep MSAA, Rp47,25 triliun kewajiban dan ini aset dikurangi dengan aset senilai Rp18,85 triliun, sehingga sisanya menjadi kewajiban Sjamsul Nursalim, jadi kurangnya ada berapa. Nah, sisanya Rp28,4 triliun itu yang ditanggung oleh pemegang saham,” paparnya.
Dia melanjutkan pemegang saham ini membayar kewajiban angka di atas itu dengan cara membayar secara tunai sejumlah Rp1 triliun serta dengan saham dari 12 perusahan senilai Rp27,4 trilyun. Karena itu kewajiban Sjamsul Nursalim itu sebesar Rp28,4 triliun.
“Sekarang di 2017, penyidik menyatakan yang ini tagih ke sini. Kalau maunya begitu, ya silakan kita ubah lagi MSAA. Makanya, saat kami diperiksa, kalau begini caranya, baik kami akan tulis surat ke Menteri Keuangan,” kata mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu.
Syafruddin pun mengaku sudah dua kali menulis surat kepada Menteri Keuangan, meski tidak direspons. Dalam surat itu dia menyampaikan bahwa sesuai dengan keterangan penyidik KPK, masih ada kekurangan pembayaran, tetapi berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan keterangan Menteri Keuangan di DPR bahwa kewajiban itu sudah diselesaikan dan tidak ada kekurangan.
Jika menuruti seperti keinginan penyidik, lanjut Syafruddin, ini sudah melanggar sejumlah ketentuan tentang MSAA.
“Kalau begitu, kita sudah menabrak semua aturan-aturan, TAP MPR, Propenas, dan keputusan sidang kabinet serta Inpres 9/2002 mengatakan MSAA harus dilaksanakan secara konsisten, jangan diubah-ubah, itulah yang diinginkan KKSK [Komite Kebijakan Sektor Keuangan] sebelum-sebelumnya,” kata Syafruddin.
Pada kesempatan itu, dia juga menyampaikan bahwa utang petambak Dipasena dan PT Wachyuni Mandira itu bukan kewajiban Sjamsul Nursalim. “Utang petambak itu bukan kewajiban Sjamsul Nursalim,” katanya menegaskan.
Menurutnya, untuk membayar BLBI itu pertama-tama adalah menggunakan aset bank itu sendiri, yaitu aset-aset bank yang dinilai baik, yakni kredit yang ada jaminannya tersendiri.
Pada sisi aktiva neraca Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) saat itu nilainya Rp47 triliun, namun yang diambil atau diperhitungkan sebagai pengurangnya hanya Rp18 triliun karena yang ini ada penjaminannya seperti utang petambak dijamin oleh Dipasena.
Adapun, saat jaksa mempersoalkan bahwa Rp47 triliun itu merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayar, bukan nilai asetnya, Syafruddin menyampaikan kepada majelis hakim bahwa nilai aset BDNI adalah Rp 47triliun sebagaimana tergambar dalam neraca BDNI.
“Kami ingin sampaikan ke majelis, dalam rangka ini, aset BDNI Rp47 triliun dan ini dari audit BPK 2017, saya tunjukkan ke Yang Mulia. Jadi, ini aktiva-pasiva, neraca BDNI 21 Agustus ini dari hasil audit investigasi BPK pada 2017,” ungkapnya.
Dari keseluruhan rangkaian persidangan, penuntut umum selalu berkutat pada fakta bahwa terjadi misrepresentasi atau kondisi yang tidak diberitahukan secara jujur.
Kurang Bayar Rp4,8 Triliun
Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentasi karena sebelumnya menyatakan bahwa aset petambak (utang) lancar, tetapi kenyataannya tidak lancar. Akibat terjadi misrepresentasi, ada kekurangbayaran Rp4,8 triliun yang bersumber dari utang petambak itu.
Berdasarkan catatan Bisnis, pada Maret 1999, BPPN selaku acting direksi, setelah ambil alih BDNI 4 April 1998, menerbitkan surat keputusan yang menyatakan seluruh aset produktif bank itu dalam keadaan macet dan kemudian pada April 1999, kantor akuntan publik Artur Andersen menyatakan bahwa utang petambak macet dan pihak penjamin (Dipasena-Wachyuni) tidak menjalankan kewajiban selaku penjamin.
Selain itu, pada 25 Mei 1999 BPPN yang dipimpin Glen Yusuf menyatakan MSAA Sjamsul Nursalim sudah melakukan closing dan menerima semua pembayaran, lalu diterbitkan release and discharge yang berarti obligor, yang telah memenuhi kewajiban tidak akan dituntut dalam proses hukum.
Akan tetapi, pada November 1999 Glen Yusuf selaku Kepala BPPN mengirimkan surat yang menyatakan terjadi misrepresentasi. Surat ini kemudian menjadi titik tolak KPK menganggap terjadi misrepresentasi dan kekurangbayaran Rp4,8 triliun sehingga menjadikan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka karena menerbitkan SKL pada 2004 ke Sjamsul Nursalim, padahal masih ada kewajiban yang dianggap belum terselesaikan.
Dalam persidangan 16 Juli 2018, Taufik Mapaenre, mantan Deputi Aset Manajemen Investasi (AMI) BPPN menyatakan bahwa tidak terjadi misrepresentasi karena sejak awal BPPN sudah tahu, ada potensi utang yang macet dari deklarasi Sjamsul Nursalim bahwa Dipasena-Wachyuni menjadi penjamin utang, jika terjadi macet.
Sebelum MSAA Sjamsul Nursalim dinyatakan closing, BPPN pun sudah menerbitkan SK bahwa aset produktif BDNI, termasuk utang, juga macet dan juga sebelum closing, Artur Andersen menyatakan utang petambak macet.
Selain itu, dalam perjanjian MSAA dinyatakan bahwa jika terjadi misrepresentasi dan tidak bisa diselesaikan oleh para pihak, penyelesaiannya harus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
KPK menjadikan Syafruddin tersangka dan kemudian terdakwa karena dia diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Ketika menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002, pada bulan berikutnya mengusulkan kepada KKSK untuk mengubah proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Hasil dari restrukturisasi tersebut, Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petani tambak yang merupakan penerima kredit BDNI dan sisanya Rp3,7 triliun tidak dibahas dalam proses restrukturisasi sehingga masih ada kewajiban obligor yang harus ditagihkan.
“Akan tetapi, pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp3,7 triliun,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.