Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Wahid Foundation mencatat 28 peristiwa politisasi agama dengan 36 tindakan sepanjang penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2017.
“Peristiwa politisasi agama paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan 24 peristiwa menjelang putaran satu dan dua. Berikutnya Jawa Barat dengan tiga peristiwa, dan Banten satu peristiwa,” kata Manajer Riset Wahid Foundation Alamsyah, Rabu (8/8/2018).
Dia mengatakan korban individu politisasi agama paling dikenal di Jakarta adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan menerima 10 tindakan. Setelah itu disusul Ridwan Kamil di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten.
“Anies Baswedan juga tercatat sebagai korban karena dituduh pengikut Syiah," jelasnya.
Sementara itu, dari 28 peristiwa hanya satu peristiwa yang dilakukan aktor negara, sisanya sebanyak 27 peristiwa dilakukan aktor non-negara antara lain oleh Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat terlibat dalam enam tindakan, selebihnya para pengelola rumah ibadah sebanyak empat tindakan dan aktor-aktor lain.
Data-data tersebut terungkap dalam Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 yang diselenggarakan Wahid Foundation di Hotel Sultan. Laporan Wahid Foundation membatasi pada kasus-kasus di pulau Jawa yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten.
Baca Juga
Atas hasil itu, Wahid Foundation merekomendasikan pemerintah untuk mencegah meningkatnya kasus-kasus politisasi agama menjelang Pemilihan Presiden 2019 dengan melakukan deteksi dini.
“Wahid Foundation memberi sejumlah rekomendasi. Salah satunya melakukan deteksi dini untuk mengantisipasi meningkatnya ujaran kebencian menjelang Pilpres dan Pileg 2019,” ujar Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid.
Yenny mengatakan deteksi dini dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya dengan mencabut peraturan perundang-undangan yang diskriminatif.
Putri Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu juga mendorong organisasi masyarakat sipil, serta organisasi-organisasi keagamaan memperkuat semangat toleransi.
Ia mengatakan fenomena politisasi agama dan ujaran kebencian seperti yang muncul dalam pilkada DKI Jakarta 2017 harus diwaspadai terulang kembali di Pilpres 2019.
Keberhasilan politisasi agama oleh kelompok tertentu ini seharusnya tidak dibaca semata-mata bahwa masyarakat kita alergi dengan perbedaan agama/keyakinan. Umumnya masyarakat Indonesia menyadari bahwa perbedaan agama/keyakinan adalah kenyataan bangsa
Menurutnya, masalah terbesar dari politisasi agama ini justru terjadi setidaknya karena dua hal. Pertama, penggunaan idiom atau simbol agama secara eksesif dan tidak tepat di ruang-ruang publik
Kedua, adanya usaha-usaha sebagian kelompok memanfaatkan perasaan tidak suka, rasa terancam dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda untuk meraih dukungan politik.
FAKTOR KEBENCIAN
Dalam survei nasional Wahid Foundation pada 2017, ketidaksukaan dan kebencian menjadi salah satu faktor yang berpengaruh langsung bagi aksi-aksi intoleransi.
Menurut Wahid Foundation yang juga disampaikan lewat akun Twitter resminya @wahidfoundation, dari sisi berbeda, kasus kasus politisasi agama di Jakarta, justru seperti momentum pemerintah dan masyarakat mengatasi ancaman intoleransi. Jumlah praktik baik kemerdekaan beragama berkeyakinan (KBB) yang dilakukan negara dan non-negara meningkat.
Dari diskusi toleransi, pawai budaya, atau festival keagaman yang melibatkan seluruh elemen bangsa pun digagas. Upaya ini terus meningkat dengan memanfaatkan momentum Ramadan dan menjelang Hari Raya Idulfitri di Juni 2017.
Inilah yang menyebabkan praktik baik menigkat (55 peristiwa) dibanding pelanggaran KBB (11 peristiwa) di Juni. “Dari masyarakat sipil, aktor terbanyak adalah komunitas lintas iman dan Gerakan Pemuda Anshor, sayap organisasi pemuda NU.”
Dalam laporan KBB 2017 ini, WF mencatat sebanyak 213 peristiwa dengan 265 tindakan pelanggaran. Jumlah peristiwa pada 2017 ini naik dibanding 2016 dengan 204 peristiwa. Jumlah tindakan sebaliknya turun jika dibanding 2016 yang berjumlah 313 tindakan.
Adapun, yang membedakan dengan tahun lalu juga, kebanyakan aktor pelanggaran dipegang oleh non-negara. Jumlahnya cukup signifikan. Aktor non-negara 170 tindakan (64%) sedang negara 95 tindakan (36%).
Pada 2016, tindakan pelanggaran terbanyak justru dilakukan negara sebanyak 159 tindakan atau 50,5 %. Sisanya, 156 tindakan atau 49,5 % dilakukan aktor non-negara.
Dari segi persebaran wilayah, DKI Jakarta menduduki peringkat pertama terjadi pelanggaran KBB (50 peristiwa). Diikuti Jawa Barat (44 peristiwa), Jawa Timur (27 peristiwa), Jawa Tengah (15 peristiwa) dan NTB (10 peristiwa).
“Jika melihat bentuk-bentuk tindakan terbanyak yang dilakukan aktor non-negara bisa disimpulkan bahwa masyarakat berusaha meninggalkan cara-cara kekerasan fisik. Ini memperkuat analisis kami dalam laporan sebelumnya,” tulisnya.
Pelanggaran yang dilakukan pada umumnya kekerasan non-fisik seperti kekerasan verbal. Tiga bentuk tindakan tertinggi adalah ujaran kebencian (35 tindakan), disusul pelarangan aktifitas (24 tindakan) serta intimidasi/ancaman (20 tindakan).
Tahun ini, kelompok korban pelanggaran terbanyak masih komunitas Ahmadiyah (31 tindakan). Disusul warga masyarakat (27 tindakan) dan Hizbuttahrir (18 tindakan), komunitas Syiah (15 tindakan) dan tokoh publik (13 tindakan).
Di antara korban-korban itu,HTI merupakan kelompok baru. Ini berkaitan dengan kasus pelarangan aktivitas yang dilakukan kelompok tertentu menjelang pembubaran dan pascapembubaran melalui Peratuan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) RI No. 2/2017 tentang perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas.