Bisnis.com, MALANG — Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memproduksi mi dan makaroni berbahan campuran tepung singkong dan pati garut.
Kreasi itu merupakan pengembangan berbagai produk inovatif berbasis umbi-umbian untuk menjaga ketahanan pangan dan mencegah ketergantungan pada gandum.
Kepala Laboratorium ITP UMM Damat mengatakan mi dan makaroni merupakan jenis makanan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Trennya terus meningkat.
“Tapi yang perlu diketahui bahwa mayoritas mi yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia adalah dari tepung terigu yang berasal dari gandum, namun sayangnya sampai hari ini seratus persen masih impor,” katanya di Malang, Rabu (25/7/2018).
Pada 2018 saja, kata dia, impor gandum Indonesia diproyeksi sudah mencapai lebih dari 10 juta ton sehingga menjadikan negara ini importir gandum terbesar kedua setelah Mesir.
Bahkan berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, lima tahun lagi Indonesia diproyeksi akan menjadi importir gandum terbesar di dunia. Oleh karenanya perlu pengembangan produk pangan berbasis sumber daya lokal.
Salah satunya pemanfaatan umbi-umbian untuk mensubstitusi tepung terigu.
“Jika UMM berhasil mengembangkan produk umbi-umbian dengan menguasai 10% dari pangsa pasar gandum, maka sudah sangat luar biasa besar,” ungkapnya.
Dari sisi k nilai gizinya, menurut dia, beberapa jenis ubi-ubian seperti ubi jalar, singkong dan umbi garut diketahui memiliki kandungan serat lebih tinggi ketimbang gandum.
Selain itu, pada ubi jalar misalnya, diketahui kaya antioksidan, yakni salah suatu senyawa yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh.
Sementara itu, tepung terigu mengandung protein khas yang disebut gluten. Protein inilah yang membuat produk roti dapat mengembang baik. Namun bagi sebagian orang, keberadaan gluten ini justru dapat menimbukan efek negatif. Bagi penyandang autisme misalnya, mengonsumsi gluten secara berlebihan membuat pengkonsumsinya hiper aktif.
Selain itu, bagi mereka yang intoleran terhadap gluten, keberadan gluten juga dapat memicu kerusakan jaringan mikrofili pada usus halus yang dikenal dengan penyakit celiac deases.
“Jika mikrofili rusak, maka absorpsi atau penyerapan makronutrien [zat gizi yang dibutuhkan tubuh] akan terganggu, sehingga dapat berakibat malnutrisi,” ucapnya.
Ke depan, Lab ITP berencana menindaklanjuti produk ini untuk dikembangkan sebagai produk komersial, yakni dengan segera membentuk unit khusus di UMM yang menampung segala inovasi dari sejumlah laboratorium yang ada agar bernilai ekonomis.