Bisnis.com,JAKARTA - Kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Ahmad Yani menilai Komisi Pemberantasan Korupsi telah bermain opini untuk memaksakan agar kliennya dinyatakan bersalah atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurutnya, pernyataan Juru Bicara KPK Febri Diansyah dan Komisioner KPK Saut Situmorang yang telah menyimpulkan bahwa dakwaan mereka sudah terbukti, kendati proses persidangan baru berjalan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari JPU, adalah hal yang tidak lazim, bahkan tidak boleh dilakukan oleh institusi penegak hukum mana pun.
"Juru bicara KPK dengan Komisioner KPK sudah menyimpulkan bahwa dakwaan mereka sudah terbukti. Loh dia hadir di persidangan juga tidak, bagaimana dia bisa menyimpulkan. Itu namanya dia sudah bermain opini. Institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, dia harus berdasarkan fakta-fakta. Kita pun tidak pernah mau menyatakan apa yang saya kemukakan hari ini karena kita masih proses persidangan," katanya, Selasa (10/72018).
Selain prematur, pernyataan Juru Bicara KPK dan Komisioner KPK tersebut, menurut Yani justru berlawanan dengan fakta-fakta baru yang muncul di persidangan. "Terlalu prematur tapi kalau sudah menyatakan dari awal sudah terbukti, kami menyatakan sebaliknya, bahwa fakta-fakta di persidangan menunjukan tidak ada satu bukti pun yang menguatkan dakwan jaksa".
Dia mengatakan, salah satu fakta baru yang terkuak dalam sidang Senin (9/7/2018), adalah bahwa kliennya ternyata tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI. Pemberian SKL yang diberikannya adalah semata-mata mengikuti kebijakan yang telah diterbitma oleh pejabat pejabat dari dua pemerintahan sebelumnya.
Mantan anggota DPR ink juga menunjuk pada penyelesaian BLBI yang dilakukan melalui MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) pada pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999), yang diteruskan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Dan pelaksanaannya oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang waktu itu diketuai oleh Glenn Yusuf, yang memberikan release and discharge (R&D) kepada mereka yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.
Dalam R&D itu ditegaskan bahwa dengan telah diselesaikannya seluruh kewajiban oleh Pemegang Saham Bank Dagang Nasional Indonesia (PS BDNI) sesuai MSAA, Pemerintah membebaskan dan melepaskan PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya dari setiap kewajiban lebih lanjut untuk pembayaran BLBI.
"Pemerintah juga mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI," katanya.
Kliennya menjadi Ketua BPPN di April 2002 maka menurut Yani dia bukanlah pejabat yang berwenang saat itu, melainkan Glenn Yusuf. Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara Syafruddin, adalah tidak tepat atau salah alamat karena penyelesaian melalui MSAA dan penegasannya pada R&D menyatakan jikalau ada masalah dalam penyelesaian BLBI ini harus diputuskan melalui pengadilan perdata, bahkan juga tidak akan melakukan tuntutan hukum apapun.