Kabar24.com, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi mendefinisikan ulang kegiatan kampanye yang saat ini mencakup aktivitas partai politik menawarkan 'citra diri'.
Pasal 1 angka 35 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri. PSI menganggap frasa 'citra diri' merugikan partai pendatang baru tersebut sehingga memohonkan uji materi UU Pemilu ke MK.
"Benar. Kami sudah masukkan gugatan UU Pemilu ke MK melalui Jaringan Advokasi Rakyat PSI, siang tadi," kata Juru Bicara PSI Dede Prayudi ditulis Minggu (10/6/2018).
Dede menjelaskan bahwa citra diri tidak memiliki penjelasan dalam UU Pemilu, tetapi lembaga penyelenggara pemilu kemudian menafsirkan citra diri mencakup logo dan nomor urut parpol.
Akibatnya, kata dia, petinggi PSI sempat diperkarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ke Badan Reserse Kriminal Polri karena memasang iklan bermuatan logo dan nomor urut PSI di sebuah media cetak. Lagipula, menurut Dede, Pasal 274 UU Pemilu tidak menyebutkan citra diri masuk bagian materi kampanye.
"Jadi ada perbenturan pasal. Makanya kami ajukan uji materi," katanya.
Di sisi lain, Dede berpendapat keberadaan frasa 'citra diri' dalam definisi kampanye UU Pemilu mencederai prinsip keadilan bagi parpol peserta pemilu. Pasalnya, PSI sebagai parpol pendatang baru dibatasi menggelar sosialisasi kepada masyarakat sebelum masa kampanye dibuka pada 23 September 2018.
Dede berpandangan sosialisasi dengan menyertakan logo maupun nomor urut seharusnya diperbolehkan asalkan tidak mengajak masyarakat untuk memilih. Karena itu, PSI dalam berkas gugatannya juga meminta MK membatalkan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) yang mengatur beberapa mekanisme pembiayaan metode kampanye dan jangka waktu kampanye. Turut pula digugat Pasal 293 ayat (1)-ayat (4) yang mengatur iklan kampanye.
"Aturan ini tak adil bagi parpol yang tidak punya media. Padahal kami parpol baru," ucapnya.
Selasa (5/6/2018), definisi citra diri juga diperdebatkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan lembaga penyelenggara pemilu. Awalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menafsirkan citra diri mencakup logo atau nomor urut parpol.
Dengan atribusi alternatif 'atau' maka parpol dianggap melakukan kampanye di luar jadwal apabila memasang di alat peraganya salah satu dari logo atau nomor urut. Namun, karena desakan dari parlemen, definisi citra diri berubah menjadi 'logo dan nomor urut' parpol sehingga apabila memuat salah satunya tidak dianggap melakukan kampanye di luar jadwal.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menjelaskan peserta pileg adalah parpol yang telah ditetapkan nomor urutnya. Menurutnya, logo parpol ada sejak parpol lahir, sedangkan nomor urut ditetapkan hanya ketika mengikuti sirkulasi pemilu 5 tahun sekali.
"Logo parpol tanpa nomor bukan peserta pileg. Sebab itu citra diri adalah logo dan nomor urut," katanya.
Kontras dengan KPU, Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar tetap berpendapat bahwa citra diri mencakup logo atau nomor urut parpol. Logo, kata dia, diatur lewat UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, sedangkan ketika parpol sudah menjadi peserta pileg tunduk pada UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
"Karena itu kami berpendapat definisi kampanye kembali ke Pasal 1 angka 35 UU Pemilu," ujarnya.
Menanggapi perbedaan itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengingatkan bahwa peraturan Bawaslu harus mengacu kepada peraturan KPU. Alhasil, Rancangan Peraturan Bawaslu tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum 2019 mesti diubah selaras dengan Rancangan Peraturan KPU tentang Kampanye Pemilihan Umum 2019.
"Kalau KPU buat rumusan A maka Bawaslu buat itu. Kalah salah, yang salah KPU-nya," kata dia.