Bisnis.com, JAKARTA—Partai Golkar memastikan kadernya yang mengikuti kontestasi pemilihan anggota legislatif 2019 bersih. Partai berlambang beringin itu pun mendukung Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang melarang mantan narapidana korupsi jadi calon anggota legislatif.
Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan partainya memiliki mejelis etik yang untuk menjamin kadernya bersih. Di dalam partainya pun telah disepakati pakta integritas yang salah satu isinya membahas masalah korupsi, terorisme dan narkoba.
“Dan itu yang menjadi komitmen apalagi tagline kita Golkar Bersih ya. Tadi juga sudah dibahas supaya DPRD juga punya komitmen yang sama untuk mengangkat [bebas] korupsi sebagai persyaratan utama untuk menjadi caleg nanti,” ujarnya di sela-sela acara Silaturahmi Nasional DPP Partai Golkar dan DPD Partai Golkar Provinsi se-Indonesia, Jumat (1/6).
Golkar pun, kata dia, sangat mendukung langkah KPU yang ingin menetapkan peraturan mantan narapidana korupsi dilarang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
“Sangat mendukung keinginan itu. Tanpa ditanya juga Golkar mendukung atau tidak, apa yang kami lakukan di lapangan ya sudah seperti itu,” tegasnya.
Sebelumnya, KPU sudah mantap memasukkan klausul pelarangan mantan terpidana korupsi sebagai calon anggota legislatif dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pencalonan Pileg 2019.
Keputusan itu diambil dalam rapat pleno pada Selasa (22/5) malam. Terkait hal itu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengingatkan kembali bahwa niat lembaganya melarang bekas terpidana korupsi menjadi caleg sudah bulat.
RPKPU Pencalonan Pileg 2019 akan disahkan tidak lama lagi. Regulasi itu untuk melengkapi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang memang memungkinkan mantan napi korupsi maju sebagai calon anggota legislatif.
Dalam UU Pemilu para calon anggota legislatif yang pernah menjadi narapidana korupsi harus mengumumkan secara terbuka pernah dihukum karena tindak pidana luar biasa tersebut.
Di sisi lain Lodewijk menyebut suatu kebijakan dari satu lembaga sebaiknya jangan bertentangn dengan undang-undang.
“Ini harus ditemukan titik temunya. Tentau dari Kementerian Hukum dan HAM yang mengatur itu termasuk dari yang mengusulkan dari KPU itu sendiri,” ucapnya.