Bisnis.com, JAKARTA - Peradilan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI dari BPPN dengan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung disinyalir akan berlanjut ke tahap pemeriksaan pokok perkara setelah penuntut umum menangkis semua eksepsi penasehat hukum.
Penuntut Umum Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang dipimpin oleh Haerudin mengatakan tim penasehat hukum dari Syafruddin Arsyad Temenggung tidak memahami surat dakwaan penuntut umum sehingga eksepsi yang diutarakan terdakwa tersebut harus ditolak oleh majelis hakim.
Pihaknya mengatakan surat dakwaan yang dibacakan oleh mereka telah memenuhi syarat materil Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Sebab mencantumkan uraian perkara secara cermat, jelas, lengkap dengan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, seperti 20 Oktober 2003 dan 13 Februari 2004 di Kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masuk dalam wilayah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
“Surat dakwaan juga sudah memuat fakta perbuatan beserta pasal yang tercantum dalam UU Tipikor tanpa ada satupun yang ketinggalan atau tercecer. Selain itu surat dakwaan juga sudah menyertakan tanggal pembacaan yakni 2 Mei 2018. Dengan demikian keberatan penasehat hukum surat dakwaan tidak lengkap harus ditolak atau tidak dapat diterima oleh majelis hakim,” ujarnya dalam sidang, Senin (28/5/2018).
Dalam eksepsi yang dibacakan penasehat hukum sepekan sebelumnya, ada enam hal yang disinggung pada bagian pendahuluan seperti audit BPK pada Agustus 2017 bertentangan dengan audit sebelumnya yang menyatakan tidak terdapat kerugian negara.
Penuntut umum mengatakan tidak sepandapat karena berbagai materi itu telah memasuki pokok perkara sehingga tidak perlu ditanggapi lebih lanjut karena tidak termasuk eksepsi sesuai Pasal 156 ayat 1 KUHAP.
“Sebagian besar materi telah masuk pokok perkara dan pengulangan dan hampir sama dengan materi praperadilan yang telah ditolak. Prosedur penetapan tersangka sudah penuhi bukti permulaan cukup yakni minimal dua alat bukti sehingga penetapan tersangka telah sah,” jelasnya lebih lanjut.
Penuntut umum juga membantah anggapan penuntut umum penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) merupakan ranah tata usaha negara. Pasalnya, menurut penuntut, penerbitan SKL itu merupakan kelanjutan dari beberapa perbuatan Syafrudin sebelumnya yakni pada 21 Oktober 2003, dia bertemu dengan istri Sjamsul Nursalim, Itjie Nursalim. Pada pertemuan itu terdakwa menarik kesimpulan tidak terjadi misrepresentasi padahal saat itu piutang bertambah dan dalam keadaan macet.
Lebih lanjut diuraikan pada 11 Februari 2004 dalam rapat terbatas kabinet, terdakwa juga mengusulkan penghapusbukuan utang BDNI, tetapi tidak melaporkan aset petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi. Dalam rapat itu Presiden Megawati Soekarnoputri tidak memberikan persetujuan atas usulan tersebut.
Keesokan harinya, terdakwa mengirimkan ringkasan eksekutif BPPN ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang pada pokoknya mengusulkan agar KKSK memutuskan penghapusan porsi utang unsustainable Rp2,8 triliun padahal pada rapat kabinet, tidak pernah diputuskan penghapusbukuan.
“Pada 13 Februari 2004 Dorojatun Kuncorojakti menyetujui usulan terdakwa sekaligus menghilangkan hak tagih negara ke Sjamsul Nursalim. Penghapusbukuan itu kemudian diikuti dengan penerbitan surat keterangan lunas,” jelas penuntut umum lebih lanjut.
Yusril Ihza Mahendra, penasehat hukum Syafruddin Temenggung mengatakan pihaknya menanti putusan sela dari hakim. Pihaknya mengaku berbagai eksepsi yang telah diutarakan semestinya masuk dalam ranah eksepsi bukan pokok perkara.
“Tapi kalau jaksa berpandangan berbeda silakan tapi bagi kami hal itu penting untuk diutarakan. Memang dalam peradilan tipikor jarang ada eksepsi yang diterima oleh pengadilan,” ucapnya.
Seperti diketahii, Syafruddin, selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu, tuturnya, membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar atau misrepresentasi.