Bisnis.com, JAKARTA -- Warga Palestina yang tewas dibunuh oleh militer Israel mencapai 58 orang, sedangkan 2.700 lainnya luka-luka, dalam aksi protes setelah AS membuka kedutaan besarnya di Yerusalem.
Angka itu disebutkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina. Reuters melaporkan, Selasa (15/5/2018), korban meninggal dan luka-luka disebabkan oleh peluru, gas air mata, serta senjata lainnya.
Korban tewas mencakup setidaknya 6 orang berusia di bawah 18 tahun, termasuk 1 remaja perempuan. Secara keseluruhan, jumlah korban yang jatuh sejak aksi protes berlangsung telah mencapai 103 orang.
Otoritas Palestina menyebut aksi kekerasan itu sebagai pembantaian, sedangkan PBB menyebutkan pelanggaran HAM. Seperti dilansir BBC, Selasa (15/5/2018), pemindahan Kedutaan Besar (Kedubes) AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dinilai sebagai dukungan kepada Israel untuk mengontrol kota suci itu.
Aksi protes yang terjadi Senin (14/5) merupakan kelanjutan dari unjuk rasa besar-besaran yang telah terjadi selama enam pekan berturut-turut di perbatasan Gaza-Israel.
Aksi protes besar-besaran dijadwalkan kembali digelar hari ini, hampir bersamaan dengan pendirian Negara Israel pada 1948 atau yang disebut sebagai Nakba oleh warga Palestina. Istilah ini mengacu pada ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi setelah perang berlangsung dengan Israel.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas memberlakukan masa berduka selama tiga hari setelah kejadian itu.
"Hari ini, sekali lagi, pembantaian atas warga kita berlanjut," ujarnya.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengklaim para pengunjuk rasa menyerang perbatasan dengan menggunakan batu dan senjata lainnya. Dia membela aksi tentara Israel dengan menyatakan bahwa semua negara memiliki kewajiban untuk mempertahankan perbatasannya.
"Hamas telah mendeklarasikan keinginannya untuk menghancurkan Israel dan mengirim ribuan orang untuk menerobos perbatasan. Kami akan terus beraksi untuk melindungi kedaulatan dan penduduk kami," papar Netanyahu.
Reaksi yang disampaikan dunia internasional terpecah. Kuwait telah menyusun permintaan kepada PBB agar dilakukan penyelidikan independen atas peristiwa itu, tapi diblokir oleh AS--yang menuding Hamas sebagai provokator.
Jerman juga menilai Israel berhak mempertahankan diri tapi harus melakukannya dengan proporsional. Uni Eropa (UE) dan Inggris telah meminta kedua pihak menahan diri.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengutuk kekerasan yang dilakukan tentara Israel, sedangkan Turki menyatakan AS turut bertanggung jawab bersama Israel atas pembantaian mengerikan yang terjadi dan menarik duta besarnya dari AS serta Israel.
Afrika Selatan mengikuti jejak Turki dengan memanggil pulang duta besarnya dari Israel dan mengecam keras serangan Israel.
Salah satu pernyataan paling keras disampaikan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad Al Hussein yang mengutuk peristiwa itu yang disebutnya sebagai pembunuhan lusinan orang, melukai ratusan orang oleh peluru Israel.