Bisnis.com, JAKARTA – Penggugat norma pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden menginginkan mantan RI-1 atau RI-2 dua periode dapat mencalonkan diri kembali setelah diselingi jeda jabatan.
Keinginan tersebut dinyatakan oleh pemohon perkara No. 40/PUU-XVI/2018 ketika meminta pengujian Penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal 169 huruf n UU Pemilu mengatur bahwa calon presiden atau calon wakil presiden belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali dalam masa jabatan yang sama.
Di bagian Penjelasan, frasa ‘dua kali dalam masa jabatan yang sama’ dimaknai sebagai jabatan berturut-turut maupun tidak, walaupun masa jabatan kurang dari 5 tahun.
Regginaldo Sultan, kuasa hukum pemohon dari Koalisi Advokat Nawacita Indonesia (KANI), mengatakan kliennya menerima pembatasan masa jabatan presiden atau wakil presiden selama dua periode baik berturut-turut atau tidak. Ketentuan itu, menurutnya, bertujuan mencegah praktik otoritarianisme seperti pernah terjadi di era Orde Baru dan Orde Lama.
Namun, imbuh dia, semestinya bekas presiden atau wakil presiden dua periode diizinkan kembali bertarung setelah mereka meninggalkan kursi itu selama satu atau dua periode. Mekanisme ini diadopsi oleh Rusia sehingga Presiden Vladimir Putin bisa maju untuk periode ketiga pada 2012 setelah diselingi jeda dari kekuasaan periode 2000-2004 dan 2004-2008.
Baca Juga
“Seperti Rusia dan negara lain. Kalau sudah ada jeda 5 atau 10 tahun, rezim otoriter tak akan terjadi,” katanya usai sidang uji materi di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Sultan mengakui bahwa Pasal 7 UUD 1945 telah mencantumkan secara eksplisit bahwa presiden atau wakil presiden hanya boleh dipilih dua kali. Meski demikian, dia berpendapat MK dapat menafsirkan ulang norma tersebut dengan berpijak dari prinsip bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung merupakan bentuk kedaulatan rakyat.
“Ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A UUD 1945,” ujarnya.
Sultan menambahkan pembatasan masa jabatan presiden atau wakil presiden membuat hak dasar rakyat dibatasi. Contoh konkret adalah Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang terhambat maju kembali di Pemilihan Umum Presiden 2019 karena sudah dua kali menjabat pada 2004-2009 dan 2014-2019.
Begitu pula dengan Presiden RI periode 2004-2009 dan 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya bisa saja maju kembali setelah satu periode meninggalkan kursinya.
“Pembatasan dua kali adalah tak relevan. Tak sejalan dengan sistem pemilihan langsung. Ini juga biar sirkulasi kememimpinan nasional tidak terhambat,” tuturnya.