Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla kerap mendapat kritik terkait kebijakan ekonominya yang sulit mendongkrak daya beli masyarakat. Sejumlah lembaga survei bahkan menyebut hal itu sebagai salah satu ancaman bagi elektabilitas pemerintah pada tahun politik.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah memastikan diri menjadi calon petahana pada pemilu presiden 2019. Untuk menjaga elektabilitas, hingga pemilu presiden 2019 pemerintah akan menstimulus daya beli dengan sejumlah kebijakan populis.
Ditemui di Kantor Wakil Presiden, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan upaya konkret pemerintah untuk menstimulus daya beli adalah dengan mengucurkan subsidi.
“Pemerintah masukin subsidi itu besar sekali, tidak menaikan [harga] minyak, tidak menaikan [harga] gas, tidak menaikan [harga] listrik, tidak menaikan [tarif] semua transportasi. Itu [mencapai Rp300 triliun samapai Rp400 triliun subsidinya. Dan itu rakyat kecil yang pakai,” katanya, Jumat (16/3).
Dengan dikucurkannya subsidi itu, menurutnya pemerintah harus menahan beberapa investasi di sektor infrastruktur.
“Itu [sejumlah proyek insfrastruktur] akan ditahan sampai 2019. Itu kebijakan populis. Semua presiden [calon petahana] saya rasa lakukan hal yang sama. Saya pikir sampai selesai pemilu tantu dia harus lakukan. Sesudah itu tentu pelan-pelan, ekonomi akan bergerak daya beli kelihatan naik sebentar lagi, kelihatan dari pajak Februari penerimaan pajak sudah mulai naik orang belanja, dapat PPN,” tuturnya.
Di sisi lain, kata dia, menjelang pemilu presiden 2019 pun pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6%.
“Tahun ini sampai 2019 sampai pemilu kita paksa semua. Hambatan investasi dibuka semua,” ujarnya.