Kabar24.com, JAKARTA - Pemilu 2019 diyakini tidak banyak memberi bahan pembelajaran bagi kehidupan berdemokrasi masyarakat Indonesia.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan peraturan ambang batas pencalonan presiden menjadi asal muasal hambatan pembelajaran demokrasi bagi masyarakat.
Pasalnya, ambang batas pencalonan berupa 25% suara partai politik nasional atau 20% jumlah kursi di DPR menyebabkan pencalonan Presiden terbatas dan hanya pada lingkup partai-partai tertentu dan publik terjebak tidak punya pilihan untuk mendapatkan pemimpin alternatif melalui proses politik.
“Walhasil, pencalonan Presiden makin mengukuhkan rekrutmen politik elitis dan hanya menyangkut orang-orang tertentu dan diputuskan sekelompok orang. Dengan demikian, sistem ini berkontribusi terhadap kerentanan koalisi karena dibangun berdasarkan kompromi elit politik saja,” ujarnya pada Rabu (7/3/2018).
Menurutnya, jika aturan ambang batas pencalonan dihilangkan, koalisi terjadi secara alamiah dengan memperhitungkan platform partai, visi dan misi.
Titi mengutarakan saat ini koalisi yang terbentuk dalam mendukung pencalonan hanya mendasarkan diri pada kepentingan jangka pendek serta elektabilitas calon tertentu sehingga bukan pembelajaran berdemokrasi yang baik bagi rakyat.
Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris mengatakan ambang batas presidensial berupa 25% perolehan suara secara nasional atau 20% perolehan kursi di parlemen berdampak pada terbatasnya peluang munculnya calon alternatif di luar Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
“Selama beberapa tahun ini kita disodorkan hanya dua nama itu. Presidential threshold mempersempit peluang publik hanya memilih dua nama itu,” ujarnya.
Dia melanjutkan tantangan pada Pilpres 2019 adalah menjadikan ajang ini bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat karena selama ini pemilihan kerap menguntungkan segelintir pihak saja seperti partai politik maupun pasangan calon.
Menurutnya, untuk mewujudkan hal itu, publik harus mengetahui secara persis visi misi dari para kandidat serta capaian-capaian yang telah dilakukan oleh kandidat petahana.
Akan tetapi, selama ini diskursus semacam itu tidak terjadi karena publik lebih banyak disodorkan perihal elektabilitas dan kemungkinan koalisi antarpartai.