Kabar24.com, JAKARTA--Kejaksaan Agung masih mempertimbangkan waktu yang ideal untuk mengeksekusi 10 gembong narkoba terpidana mati. Hal itu dilakukan karena masih ada beberapa terpidana yang melakukan upaya hukum seperti PK dan Grasi.
Jaksa Agung, H.M. Prasetyo menegaskan Kejaksaan Agung tidak pernah berencana menunda-nunda eksekusi mati terhadap 10 orang terpidana gembong narkoba. Menurut Prasetyo Kejaksaan Agung kini masih menunggu waktu yang tepat mengingat masih ada upaya hukum seperti PK dan grasi yang tidak dibatasi waktunya.
"Kami belum pernah menyatakan tidak akan ada hukuman mati lagi. Tapi kami masih menunggu timing-nya, sedang kita timbang-timbang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan eksekusi," tutur Jaksa Agung, Kamis (1/3/2018).
Dia menjelaskan Kejaksaan Agung tetap akan melaksanakan eksekusi terhadap semua putusan hukuman mati yang sudah inkrach dan semua hak hukum para terpidana sudah dipenuhi. Menurutnya, tidak sedikit terpidana mati yang memanfaatkan perkembangan hukum baru bahwa grasi tidak dibatasi waktunya dan PK bisa lebih dari satu kali.
"Jangan sampai justru sudah dieksekusi ada PK dan putusan pengadilan yang mengabulkan, kan tidak bisa lagi," katanya.
Sebelumnya, Mabes Polri mendesak Kejaksaan Agung agar segera melakukan eksekusi terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba. Desakan itu disampaikan mengingat semakin banyaknya bandar narkoba jaringan Internasional yang diringkus Kepolisian karena membawa berton-ton narkotika jenis sabu ke Tanah Air.
Baca Juga
Berdasarkan catatan Bisnis, sepanjang 2017 tidak ada satu pun terpidana mati yang dieksekusi Kejagung. Padahal masih ada sekitar 10 orang gembong narkoba yang divonis hukuman mati.
Mereka adalah Humphrey Jefferson, Ozias Sibanda, Eugene Ape, Obina Nwajagu, Okonkwo Nonso Kingsley, Merri Utami, Agus Hadi, Pujo Lestari, Gurdip Singh, Zulfikar Ali dan Frederick Luttar.
Sejauh ini Kejagung sudah menggagendakan eksekusi tahap tiga. Namun dari 14 orang narapidana yang diagendakan, hanya empat orang yang telah dieksekusi.
Keempat orang itu adalah Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Humphrey Ejike (Nigeria) dan Seck Osmane (Senegal). Keempat orang itu dieksekusi sekitar pukul 00.45 WIB di Lapangan Tunggal Panaluan, Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (29/7/2016).
Sebelumnya, eksekusi gelombang pertama dilakukan terhadap enam terpidana mati pada18 Januari 2015 dengan anggaran mencapai Rp1,2 miliar. Artinya untuk melakukan eksekusi mati per orang dibutuhkan biaya sekitar Rp200 juta. Sedangkan delapan orang berikutnya dieksekusi pada gelombang kedua, pada 29 April 2015.
Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan grasi tidak dibatasi waktu. Kendati demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan eksekusi mati pada terpidana.
Putusan itu dikabulkan atas permohonan pembunuh bos Asaba, Suud Rusli, yang menggugat undang-undang grasi. Sebelum putusan MK dikabulkan, grasi maksimal diajukan hanya 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkrach).