Kabar24.com, SEMARANG - Memasuki Tahun Anjing Tanah menjadi momentum yang sulit bagi sebagian masyarakat Tionghoa di Kota Semarang. Harga kebutuhan pokok yang terus melejit mengakibatkan penjualan makanan khas Imlek menurun dibanding tahun lalu.
Salah satu dampaknya dirasakan pembuat kue keranjang yang berlokasi di Kampung Kentangan Tengah, RT 03/RW V, Kecamatan Semarang Tengah.
Ong Eng Hwat, seorang pembuat kue keranjang mengeluhkan mahalnya harga ragam bahan baku utama kue keranjang. Menurut Ong, harga beras ketan kini melonjak 100% menjadi Rp25.000 dari kondisi normal hanya berkutat pada angka Rp14.000 per kilogram.
"Naiknya sampai 100%. Ini membuat pesanan kue keranjang menurun cukup signifikan," kata Ong di sela pembuatan kue keranjang, pada Rabu siang (7/2/2018).
Padahal menurut Ong, kue keranjang merupakan makanan wajib saat Imlek tiba. Kue keranjang yang dibuat dari bahan-bahan tepung ketan, beras, vanili, gula tersebut sarat filosofi budaya Tionghoa.
Rasa manis dan lengket dalam setiap gigitan kue tersebut mengandung makna mempererat rasa persaudaraan.
Baca Juga
"Tapi untuk Imlek tahun ini cenderung sepi karena semuanya serba mahal," terang Ong.
Menjelang Imlek 2018, Ong sudah mendapat pesanan sejak sepekan terakhir. Saban hari Ong membuat kurang lebih 100 kue keranjang.
Kue keranjang buatannya dikenal kaya rasa. Ong menyebut pelanggan bisa memilih kue keranjang rasa vanili, cokelat, prambors, pandan dan kacang. "Ada rasa durian juga," ujarnya.
Sebuah kue keranjang dijual seharga Rp5.300-Rp5.500.
"Kalau tahun ini permintaan paling banyak dari pelanggan asal Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo dan beberapa daerah sekitar Semarang. Mereka suka pesan kemari karena kue keranjang saya tanpa bahan pengawet. Jadi yang makan biar tetap sehat," bebernya.
Ong adalah generasi ketiga penerus usaha kue keranjang. Ia mendapatkan warisan resep kue keranjang dari sang nenek. Usahanya dimulai sejak 60 tahun silam.
Ia mengaku masih mempertahankan pembuatan kue keranjang memakai tungku kayu bakar.
"Saya masih mempertahankan pembuatan secara tradisional karena ini resep warisan nenek dan sudah berjalan tiga generasi," ungkapnya.
Walau begitu, diakuinya pula bahwa proses regenerasi usaha kue keranjang terancam terhambat menyusul keengganan anaknya meneruskan bisnis ini.
"Saya rasa anak saya enggak mau meneruskan pembuatan kue keranjang. Sebab selain butuh kesabaran, proses pembuatannya juga sangat lama mulai mengaduk adonan sejak subuh sampai jadi pukul 22.00 WIB malam," ujar Ong.