Kabar24.com, JAKARTA- Mayoritas penyidik hukum di Indonesia belum memanfaatkan undang-undang tindak pidana pencucian uang untuk memaksimalkan perampasan aset hasil korupsi.
Paku Utama, praktisi hukum pemulihan aset mengatakan bahwa pola pikir sebagian besar penegak hukum dalam melakukan perampasan aset hasil korupsi masih berkutat pada pembuktian tersangka suatu kejahatan korupsi.
“”Mindset harus diubah jangan kejar orang tapi kejar asetnya. Orang bisa buron, bisa meninggal atau terlalu kuat karena memiliki sokongan politik. Fokus ke asetnya saja,” ujarnya dalam diskusi Kebijakan Pemulihan Aset, Minggu (14/1/2018).
Dia mengatakan, koruptor saat ini sudah semakin canggih dalam menyembunyikan hasil kejahatannya dengan berbagai cara seperti menyamarkan kepemilikan harta dengan menggunakan nama pihak lain atau mengendalikan suatu korporasi menggunakan hasil korupsi dengan metode utang piutang menggunakan identitas pihak lain pula.
Lanjutnya, dengan cara-cara yang makin canggih dan kompleks, tentu saja akan memberikan kesulitan tersendiri kepada aparat penegak hukum yang hanya memfokuskan perhatian pada pembuktian adanya suatu kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pihak tertentu barulah kemudian asetnya disita.
Menurutnya, perangkat hukum Indonesia sudah memberikan alternatif lain perampasan harta hasil korupsi atau kejahatan lainnya dalam bentuk Undang-undang (UU) No.8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU.
Baca Juga
Dalam regulasi itu, khususnya pada Pasal 77 dan 78, hakim tinggal memerintahkan terdakwa untuk membuktikan aset yang dikuasainya itu terkait suatu tindak kejahatan atau tidak. Jika tidak bisa dibuktikan, maka aset tersebut harus disita oleh negara.
“Dalam UU yang sama pula khususnya pada Pasal 69, penyiidk tidak wajib membuktikan tindak pidana asal dari terdakwa ini. Kalau UU ini dimaksimalkan, kejahatan asal yang merugikan negara Rp1 miliar bisa diganti dengan bermiliar-miliar PNBP dari aset koruptor yang disita,” paparnya.
Di samping masih menggunakan paradigma lama tersebut, menurutnya, penyitaan aset koruptor sejauh ini berjalan di tempat. Di samping itu, lemahnya koordinasi antarlembaga serta kualitas sumber daya manusia dari aparat penegak hukum yang menurutnya belum menggembirakan juga turut berkontribusi pada minimnya penyitaan aset koruptor dan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan dalam mendorong peningkatan pengelolaan barang aset hasil kejahatan, termasuk korupsi, semua pihak perlu mendorong sinergitas aturan dan standar prosedur dari berbagai lembaga seperti aparat penegak hukum dan Kementerian Hukum dan HAM khususnya Rumah Penyimpanan Barang Bukti dan Rampasan (Rupbasan).
“Kami sudah petakan perlu adanya penguatan koordinasi internal, kelembagaan, peningkatan kualitas aparat penegak hukum beserta pengintegrasian data dan pengembangan mekanisme informal,” ungkapnya.
Ke depan, lanjutnya, Bappenas mendorong perlunya penguatan kelembagaan Rupbasan yang akan bertindak selaku koordinator pengelolaan aset koruptor serta integrasi pelaksanaan lelang dengan sistem satu pintu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 2/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.