Bisnis.com, JAKARTA—Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan kekhususan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Provinsi Aceh yang sempat ‘dikebiri’ oleh UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), penyelenggaraan pemilu di Bumi Serambi Mekkah meliputi Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). Kedua lembaga tersebut dibentuk baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, pengaturan KIP dalam Pasal 57 dan norma Panwaslih pada Pasal 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UUPA dihapus melalui Pasal 571 huruf d UU Pemilu. Selain itu, Pasal 557 UU Pemilu menegaskan bahwa baik KIP dan Panwaslih merupakan perpanjangan tangan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Pasal 571 huruf d merupakan konsekuensi dari keberadaan Pasal 557. Eksistensi Pasal 557 berpiijak dari pertimbangan pembuat UU Pemilu bahwa kekhususan Aceh tidak termasuk bidang penyelengaraan pemilu. Alhasil, selain nomenklatur lembaga, KIP dan Panwaslih tidak ada perbedaan dengan KPU daerah lain.
Ironisnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengkonsultasikan perubahan pengaturan KIP dan Panwaslih tersebut kepada DPRD Aceh.
Berdasarkan UUPA, setiap keputusan DPR terkait Aceh wajib dikosultasikan dan disetujui terlebih dahulu oleh parlemen Aceh.
“Mahkamah tidak memperoleh cukup bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa proses perumusan Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA,” tulis Putusan MK No. 66/PUU-XV/2017 yang dikutip Bisnis.com, Jumat (12/1/2018).
MK mengingatkan kepada penyusun UU untuk menghormati kekhususan Aceh sebagaimana tertuang dalam UUPA. Kendati MK tidak memandang KIP dan Panwaslih bagian dari kekhususan Aceh, tetapi konteks historis berkenaan dengan nama, komposisi keanggotaan, dan prosedur pengisian anggota harus dihormati.
Majelis Hakim Konstitusi tetap membolehkan apabila kelak penyusun UU mengubah klausul mengenai KIP dan Panwaslih. Namun, amandemen tersebut dilakukan sesuai dengan proses dan tata cara sesuai UUPA yakni diawali dengan pertimbangan DPRA.
Perkara 66/PUU-XV/2017 dimohonkan oleh Ketua DPRA Muharuddin dengan permintaan agar Pasal 571 huruf d dan Pasal 557 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Namun, MK hanya mengabulkan penghapusan Pasal 571 huruf d.
Adapun, Pasal 557 UU Pemilu sudah terlebih dahulu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum lewat Putusan MK No. 61/PUU-XV/2017 yang digugat oleh warga Aceh. Dengan demikian, Pasal 571 huruf d dan Pasal 557 UU Pemilu tidak berlaku lagi.
Perkara 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 diputus oleh 9 Hakim Konstitusi pada Kamis (11/1/2018) kemarin.