Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pinisepuh atau tokoh senior Partai Golkar prihatin dengan kondisi internal partai karena kini semakin digerogoti oleh cengkeraman kekuatan finansial.
Sekretaris Jenderal DPP Golkar periode 1983-1988, Sarwono Kusumaatmadja, mengenang betapa Partai Beringin disiapkan dengan matang oleh Presiden Soeharto di masa awal Orde Baru. Hasilnya, rentetan kemenangan spektakuler dalam pemilihan umum legislatif dari 1971, 1977, hingga 1982.
Namun, Golkar tidak jumawa melainkan tetap mentransformasi diri sebagai alat legitimasi demokrasi kekuasaan Orba. Tatkala menjadi Sekjen, Sarwono mendapat perintah dari Soeharto untuk merumuskan evolusi dan peran baru Golkar.
“Dirumuskan Golkar harus mendiri, makin dewasa, dan makin berakar. Kemudian ditambahkan dengan kaderisasi,” ujarnya dalam acara Jusuf Wanandi's 80 Birthday Seminar di Jakarta, Kamis (23/11/2017) malam.
Transformasi Golkar membuatnya terus memenangi pemilu selama kekuasaan Soeharto. Bahkan, ketika pemilu pertama era Reformasi digelar pada 1999, Golkar sanggup bertenger sebagai runner up.
Padahal, saat itu Golkar ditekan dari segala lini karena dianggap warisan rezim otoriter. Bukannya semakin terperosok, Golkar malah merebut kembali status penguasa pemilu pada 2004.
Sarwono berpandangan semenjak 2004 partainya justru mengalami masa-masa suram. Golkar, menurut dia, kehilangan moralitas politik dan memicu minggatnya kader-kader potensial asal Sekretariat Bersama Golkar, organisasi cikal bakal partai tersebut.
“Sekarang tidak ada orang partai yang bisa betah lama ngobrol tentang ide, tentang gagasan, tentang program. Yang diomongkan itu siapa dapat apa dan berapa,” tutur mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini.
Ketua Umum DPP Golkar periode 1998-2004, Akbar Tandjung, memiliki versi lebih rinci sejak kapan finansial berurat-berakar di partainya. Ceritanya, tutur Akbar, cendikiawan muslim Nurcholish Madjid alias Cak Nur mengikuti Konvensi Calon Presiden Golkar untuk Pilpres 2004.
Cak Nur merupakan satu dari 19 tokoh yang menjalani penjaringan capres. Mereka diharuskan datang ke daerah untuk menyampaikan visi dan misi bila kelak dicapreskan Golkar.
Akbar mengatakan di satu daerah petinggi partai setempat memuji visi-misi Cak Nur paling baik dibandingkan dengan kandidat lain. Namun, pentolan Golkar daerah tersebut juga mengingatkan untuk memenangi kontestasi presiden tidak cukup hanya menjual ide dan gagasan.
“Tapi yang lebih penting adalah ‘gizi’-nya. Cak Nur tahu yang dimaksud dengan gizi adalah sejauh mana dia punya kemampuan finansial. Itulah awal politik kita sudah diwarnai soal uang,” kata Akbar.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini menilai faktor kekuatan finansial tidak hanya monopoli Golkar. Bahkan, siapapun kini berbekal duit melimpah bisa mendirikan partai politik dan menjadi peserta pemilu.
“Sekarang ada PSI yang saya kagum bisa lolos dan tidak ada soal (mengenai uang). Satu lagi Perindo yang pasti bisa karena dipimpin Hary Tanoesoedibjo,” ujarnya.
Akbar Tanjung/Antara
Imbas cengkeraman finansial itu membuat miris Anggota Dewan Penasihat DPP Golkar periode 2004-2009 Fahmi Idris.
Saat ini, dia menilai, pengurus Golkar di tingkat pusat kurang memiliki kematangan politik seperti pendahulu mereka.
Mantan Menteri Perindustrian ini mengaku pada masanya wajar sesama elit partai berdebat dan berdiskusi. Sekarang, anak muda gagap bicara politik karena tidak lagi mendapat edukasi politik.
Fahmi pun memaklumi apabila kini Golkar disebut-sebut sebagai partai paling korup di Tanah Air. Menyitir data Indonesia Corruption Watch, dia menyebut setidaknya 16 kader Golkar di pusat dan daerah terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Ini memukul sekali bagi marwah partai kami,” kata Fahmi.