Kabar24.com, JAKARTA - Setya Novanto sepatutnya melepas berbagai jabatan baik publik maupun kepartaian yang selama ini dia emban agar bisa berkonsentrasi menghadapi proses hukum perkara korupsi pengadaan KTP elektronik.
Pengamat politik Charta Politica Yunarto Wijaya mengatakan bahwa perkara korupsi yang menjerat Novanto menjadi rumit dalam konteks posisi yang bersangkutan bersamaan menjadi Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar.
Dua posisi itu, menurutnya, sangat strategis dan saling mengunci dalam pengambilan keputusan.
“Dua jabatan tersebut sudah sepatutnya dilepas agar tidak menjadi beban kelembagaan. Tentu tidak sepatutnya DPR dipimpin oleh seorang tersangka kasus korupsi yang sudah ditahan oleh KPK sehingga tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Point ini yang harus menjadi pehatian bagi masyarakat,” ujar Yunarto, Selasa (21/11/2017).
Dia melanjutkan, mengacu kepada Pasal 87 ayat 1 UU MD3 menyebutkan bahwa pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat 1 berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.
Baca Juga
Tantangan
Meski demikian, menurut Yunarto, harus diakui ada sejumlah tantangan aturan untuk secara mudah menggantikan Novanto dari kursi ketua DPR. Namun, bukan berarti tidak ada celah aturan. Setidaknya ada dua jalur cepat untuk menggantikan Novanto dari kursi pimpinan DPR, yakni melalui jalur kepartaian.
Jalur ini merupakan opsi utama sebab kursi jabatan menjadi Ketua DPR juga terbentuk atas mandat partai. Dengan demikian, Partai Golkar tidak boleh hanya berfokus pada permasalahan internal semata, sementara melupakan aspek jabatan publik yang justru memiliki dampak lebih luas kepada masyarakat.
“Golkar mempunyai alasan kuat untuk segera mengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Selain kasus hukum tindak pidana korupsi yang saat ini tengah membelit ketua umum partai tersebut, Setya Novanto selama ini dikenal tidak membawa perubahan signifikan pada citra Partai Golkar," kata Yunarto.
Buat Gaduh
Sebaliknya, Setya Novanto banyak membuat gaduh baik terkait hukum dan etik yang sedikit banyak berdampak pada citra Golkar. Selain itu, dalam waktu 18 bulan menjabat sebagai ketua umum, tercatat sedikitnya 16 kader Partai Golkar di legislatif nasional maupun daerah, eksekutif daerah, dan kader sayap partai menjadi tersangka kasus korupsi.
Hal yang harus dilakukan partai Golkar adalah sesegera mungkin mengusulkan penggantian Ketua DPR yang baru untuk menggantikan Setya Novanto. Jika cara ini ditempuh, maka proses akan cederung lebih cepat. Atau bisa juga dilakukan dengan cara meminta Novanto mengundurkan diri.
Langkah lain, menurut Yunarto, adalah dengan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Jika mengacu kepada aturan, tindakan Novanto diduga melanggar sejumlah aturan dianyaranya Peraturan DPR No 10 /2015 tentang Kode Etik DPR pada bagian Integritas Pasal 3 point ke 5 disebutkan anggota dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan Lain
Aturan lainya, Pasal 236 Ayat 3 UU MD3 yang berbunyi anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurutnya, berbagai aturan ini bisa menjadi dasar bagi MKD untuk meminta kesediaan Novanto mengundurkan diri. Terlebih lagi yang bersangkutan tidak akan dapat melaksanakan tugasnya secara berturut turut.
“Harus dipahami, kepentingan Novanto mundur/diganti dari kursi Ketua DPR untuk kepetingan publik yang lebih luas. Alangkah memalukannya jika lembaga tinggi negara dipimpin oleh seorang tersangka kasus korupsi yang sedang berada dalam tahanan. Sementara lengser dari partai merupakan untuk kepentingan internal kader mereka,” pungkas Yunarto.