Kabar24.com, JAKARTA - Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta penting untuk mendukung pemulihan hutan dan lahan gambut. Pasalnya, restorasi bukan sekadar isu tentang keanekaragaman hayati semata, tetapi juga tentang sosial dan ekonomi.
Demikian mengemuka pada penyelenggaraan hari kedua Paviliun Indonesia saat Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 23 Fiji, yang berlangsung di Bonn, Jerman, kamis (9/11/2017). Paviliun Indonesia mengambil tema “A Smarter World:Collective Actions for Changing World” menampilkan berbagai aksi dari berbagai elemen di Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim.
Tamin, Kepala Desa Sungai Bungur, Kabupaten Muaro Jambi menuturkan masyarakat siap mengambil peran dalam restorasi gambut dengan mengedepankan kearifan lokal. Tamin menuturkan, beberapa titik di desanya ikut terbakar saat terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan besar di tahun 2015. “Kami tidak ingin itu terulang,” katanya dalam siaran pers, Jumat (11/10).
Beberapa langkah yang dilakukan diantaranya membuat aturan bersama untuk tidak membuka lahan lebih dari 1 hektare dan tidak boleh di lahan dengan kedalaman gambut lebih dari 3 meter. Masyarakat Sungai Bungur juga mengedepankan jenis tanaman lokal untuk bercocok tanam seperti pisang, nanas, kedelai dan komoditas hortikultura lainnya.
Selain itu, masyarakat juga menanam dan mempertahankan tanaman pandan yang sangat efektif sebagai sekat bakar. “Daun pandan juga bisa diolah oleh kaum ibu menjadi produk bernilai ekonomis seperti dompet dan tas,” kata Tamin.
Dengan pengelolaan yang sudah terbukti bebas api, Tamin pun berharap, pemerintah bisa memberi masyarakat lebih banyak kepercayaan untuk pengelolaan lahan gambut.
Keterlibatan masyarakat dalam merestorasi gambut juga terjadi di Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Barat. Kepala Desa Gohong Yanto L Adam menjelaskan, desanya merupakan langgan kebakaran hutan dan lahan sejak tahun 1997. “Yang paling parah terjadi tahun 2015,” katanya.
Akibat kejadian tahun 2015, sekitar 300 hektare lahan pertanian masyarakat hangus terbakar. Bencana itu juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat di desa Gohong dan desa-desa sekitarnya.
Tahun 2016, masyarakat Desa Gohong memulai inisiatif baru untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut. Langkah yang dilakukan termasuk bekerja sama dengan pemerintah dan swasta untuk memulai restorasi gambut.
Desa Gohong juga memberlakukan larangan pembakaran lahan gambut untuk pembukaan lahan pertanian. “Kami juga membentuk masyarakat peduli api dan masyarakat peduli tabat,” ujar Yanto.
Untuk merestorasi Gambut, masyarakat Desa Gohong telah melakukan pembangunan 11 sekat kanal. Sebanyak 73 sekat kanal lainnya akan dibangun tahun ini.
Selain itu, masyarakat Desa Gohong juga terlibat dalam pembangunan sumur bor yang akan menjadi sumber air dalam pengendalian kebakaran lahan gambut. Tercatat telah ada 125 sumur bor yang telah dibuat dengan dukungan pembiayaan dari pemerintah. Sebanyak 280 sumur bor lainnya akan dibangun tahun ini.
Untuk memperkuat pengelolaan hutan, Desa Gohong telah memperoleh izin Hutan Desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 3.155 hektare.
Yanto menuturkan, sebagai sumber penghidpan masyarakat memanfaatkan rotan dan mengembangkan berbagai olahan bernilai tinggi. Produk pertanian seperti uah naga juga menjadi andalan.
Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahjudi Wardojo saat memimpin salah satu sesi diskusi menyatakan kolaborasi semua pihak untuk merestorasi hutan, lahan, gambut dan mangrove adalah sebuah keniscayaan. Sebab isu restorasi bukan sekadar biodiversitas, tapi juga sosial dan ekonomi.