Kabar24.com, JAKARTA — Kendati dibayangi dugaan tindak pidana pemalsuan surat, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM memastikan tetap mematuhi perintah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah Setya Novanto bepergian ke luar negeri.
Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno mengatakan otoritas imigrasi tidak mungkin mencabut pencegahan terhadap Setya Novanto. Pasalnya, pencabutan pencegahan hanya dapat dilakukan apabila KPK menarik surat perintah pencegahan terhadap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat bertanggal 2 Oktober 2017.
“Saya tegaskan bahwa yang membuat perintah pencegahan adalah KPK, kami yang melaksanakan. Beda cerita dengan Polri, BNN, Kejagung, dan Kemenkeu yang tidak mempunyai kewenangan untuk memerintah Ditjen Imigrasi,” katanya ketika dihubungi Bisnis.com.
Surat perintah pencegahan pertama dilayangkan KPK ke Ditjen Imigrasi pada 20 April 2017. Menjelang berakhirnya masa larangan bepergian ke luar negeri selama 6 bulan, lembaga antirasuah memperpanjang pencegahan lewat surat bertanggal 2 Oktober 2017 untuk jangka waktu yang sama.
Agung menambahkan UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian membolehkan setiap orang yang dicegah untuk mengajukan keberatan. Dalam kasus Setya, obyek keberatan itu adalah surat perintah dari KPK. Namun, keberatan tidak otomatis membuat pelaksanaan pencegahan tertunda.
“Pencegahan gugur bila ada keputusan inkrah dari pengadilan. Kalau dalam penyidikan, penyelidikan tidak menjadikan perintah pencegahan gugur,” katanya.
Sementara itu, hari ini KPK resmi menerbitkan surat perintah penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait dengan kasus proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Komisioner KPK Saut Situmorang mengatakan bahwa pihaknya telah mempelajari secara saksama putusan praperadilan yang telah diputus pada 29 September 2017 serta aturan hukum lain yang terkait.
"Saya hanya membacakan karena ini keputusan kolektif kolegial pimpinan KPK," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (10/11/2017).
KPK menerbitkan sprindik pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto diduga dengan tujuan untungkan diri sendiri, orang lain, korporasi, karena jabatan atau kedudukannya, diduga rugikan Rp2,3 triliun dari nilai paket Rp5,9 triliun.