Bisnis.com,JAKARTA - Penundaan pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Polri dianggap sebagai upaya Presiden menangkap suara publik yang menentang pembentukan unit tersebut.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan selain karena menangkap suara publik yang menentang pembentukan detasemen tersebut, pengukuhan unit ini bisa mengganggu sistim dan mekanisme penanganan kasus korupsi yang sudah baku karena masing-masing institusi bekerja di bawah payung hukum berupa undang-undang masing-masing lembaga.
“Selain itu lembaga apapun yang dibentuk untuk menangani perkara korupsi harus dengan UU tidak bisa dibentuk hanya dengan Kepres atau Perkap, karena korupsi sebagai sebuah kejahatan sudah diatur dengan UU tersendiri sehingga lembaga yang menangani harus dibentuk dengan UU,” katanya, Selasa (24/102017).
Dia melanjutkan, jika Polri ingin menangani korupsi maka cukup dengan Direktorat Tipikor yang sudah terbentuk. Namun selama ini direktorat tersebut dianggap minim prestasi pemberantasan korupsi. Harus diingat juga bahwa baik Polri maupun Kejaksaan juga merupakan obyek pemeriksaan KPK, penyelidikan dan penyidikan padakedua lembaga tersebut dapat diambil alih oleh KPK manakala penyidikan sebelumnya bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya atau karena penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
“Hingga hari ini Polri dan Kejaksaan belum bisa keluar dari problem-problem korupsi yang termuat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU KPK apalagi Pasal secara tegas menyatakan bahwa KPK berwenang menyelidiki, menyidik dan menunutut tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Artinya potensi untuk melakukan perbutan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan sudah diantisipasi oleh DPR ketika membuat UU KPK dan hingga saat ini Polri dan Kejaksaan belum bisa keluar dari kultur yang korup,” tambahnya.