Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan belum bersedia menanggapi secara gamblang atas penangkapan Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Budiono yang tersandung masalah impor garam.
“Kami lagi pelajari,” kata Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat dihubungi, Minggu (11/6/2017).
Dia bersikukuh rekomendasi yang dikeluarkan KKP adalah impor bahan baku garam konsumsi, bukan garam industri.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No 125/M-Dag/Per/2015 tentang Ketentuan Impor Garam, impor garam konsumsi dapat dilakukan oleh BUMN pergaraman setelah mendapat penugasan dari menteri BUMN dan rekomendasi dari menteri kelautan dan perikanan.
Padahal, Bareskrim Polri menduga PT Garam mengimpor garam industri dengan kadar NaCl di atas 97%.
Impor itu dilakukan sesuai surat persetujuan impor (SPI) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan sekalipun Menteri BUMN memberikan penugasan impor garam konsumsi.
Baca Juga
Brahmantya tak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. “Saya coba komunikasikan dulu dengan semua stakeholders dulu ya, Mbak,” ujarnya.
Siaran pers menyebutkan penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri pada Sabtu (10/6/2017) pukul 14.00 WIB menangkap Achmad Budiono di rumahnya di wilayah Jatibening, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Tersangka ditangkap terkait dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
Kemudian, 1.000 ton garam industri yang diimpor itu dikemas dalam kemasan 400 gram dengan merek Garam cap SEGI TIGA G dan dijual untuk kepentingan konsumsi.
Adapun sisanya 74.000 ton diperdagangkan atau didistribusikan kepada 45 perusahaan lain.
Sebagaimana tertuang dalam pasal 10 Permendag 125, importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.
Tersangka diduga melanggar pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, dan pasal 3 dan 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.