Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK Butuh Waktu Kupas Korupsi BLBI

KPK menilai berbagai kasus korupsi termasuk bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang terjadi pada awal reformasi memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membutuhkan waktu untuk melakukan pengusutan.
Buronan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono meninggalkan Gedung Kejaksaan Agung di Jakarta setelah menjalani pemeriksaan pada Kamis (21/4/2016). Samadikun kemudian ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba./Antara-Rivan Awal Lingga
Buronan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono meninggalkan Gedung Kejaksaan Agung di Jakarta setelah menjalani pemeriksaan pada Kamis (21/4/2016). Samadikun kemudian ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba./Antara-Rivan Awal Lingga

Kabar24. com,JAKARTA - KPK menilai berbagai kasus korupsi termasuk bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang terjadi pada awal reformasi memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membutuhkan waktu untuk melakukan pengusutan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya terus melakukan penyelidikan terkait kasus korupsi yang terjadi pada masa krisis moneter 1998-1999 yang merugikan negara hingga Rp2000 triliun tersebut.

Pihaknya terus melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan dari beberapa orang selaku saksi terkait kasus tersebut sejak 2014-2015 dan tahun ini kembali dilanjutkan dengan memanggil saksi termasuk Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Perindustrian (Ekuin) di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, pada Jumat (21/4/2017).

“Permintaan keterangan kepada Kwik Kian Gie merupakan kelanjutan dari penyelidikan yang dilakukan sejak 2014 dan 2015,” ujarnya

Menurutnya, kasus BLBI membutuhkan waktu penyelidikan yang tidak singkat mengingat butuh pengumpulan dan analisis data yang akurat, terjadi bertahun-tahun sebelumnya, serta merupakan aksi pembancakan uang negara yang terjadi sebelum berdirinya KPK.

Meski demikian, dia mengatakan, KPK tetap berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini, karena merupakan perkara yang menjadi salah satu perhatian publik di Indonesia. Untuk itu, KPK akan terus meminta keterangan dari berbagai pihak yang dipandang relevan dengan penyelidikan kasus.

Ribuan Triliunan

Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis kerugian negara hingga 2015 akibat penyelewengan BLBI mencapai Rp 2.000 triliun. Nilai ini terancam meningkat menjadi Rp 5.000 triliun pada tahun 2033.

“Nilai itu belum termasuk nilai guna dan nilai tambah dari aset yang seharusnya dikembalikan obligor dari surat SKL (Surat Keterangan Lunas)," kata Manajer Advokasi Investigasi FITRA Apung Widadi.

Skandal BLBI ini mencuat kembali setelah Pemerintah China menangkap Samadikun Hartono, mantan Komisaris Utama Bank Modern yang menjadi buron kasus ini. Samadikun menyebabkan negara rugi Rp169 miliar.

Menurut hasil audit BPK tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp138,442 triliun dari Rp144,536 triliun BLBI yang disalurkan. Kredit itu diberikan kepada 48 bank dengan rincian: 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi.

Hasil audit BPK memerinci 11 bentuk penyimpangan senilai Rp 84,842 triliun, yaitu: BLBI digunakan untuk membayar atau melunasi modal pinjaman, pelunasan kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar kewajiban pihak terkait, serta transaksi surat berharga.

Penyimpangan Lain

Penyimpangan lainnya adalah pembayaran dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, kerugian karena kontrak derivatif, pembiayaan placement baru Pasar Uang Antar Bank (PUAB), pembiayaan ekspansi kredit, pembiayaan investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekruitmen, peluncuran produk dan pergantian sistem; pembiayaan over head bank umum dan pembiayaan rantai usaha lainnya.

Pihak lain juga melakukan audit. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit terhadap 10 bank beku operasi dan 18 bank beku kegiatan usaha. BPKP menemukan 11 dugaan penyimpangan senilai Rp54,561 triliun.

Apung mengatakan, temuan kerugian negara dan penyimpangan versi BPK dan BPKP di atas akan menjadi lebih mencengangkan jika biaya penyehatan perbankan dari tahun 1997-2004 dihitung mencapai Rp 640,9 triliun.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper