Bisnis.com, JAKARTA-- Pendidikan memegang peranan penting untuk mengakhiri kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial, baik di Indonesia maupun negara lain. Untuk itu, menyediakan akses pendidikan yang berkualitas untuk semua anak menjadi hal penting dalam sebuah negara.
Berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2014, lebih dari 4,7 juta anak Indonesia usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah. Sekitar satu juta anak-anak tidak bersekolah SD atau SMP. Diperkirakan 2,7 juta dari jumlah tersebut bekerja dengan perkiraan setengah dari jumlahnya berusia di bawah 13 tahun.
Spesialisasi Pendidikan United Nation Children’s Fund (Unicef), Suhaeni Kudus mengatakan jika permasalah putus sekolah yang dialami anak-anak Indonesia bukan karena faktor drop out tapi karena faktor ekonomi. Setidaknya 50% dari jumlah keseluruhan anak putus sekolah disebabkan oleh faktor ekonomi.
“Melihat statistik dari tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu dari anak-anak yang terkena dampak terburuk putus sekolah empat kali lebih mungkin dialami anak dengan ekonomi rendah daripada anak yang ekonominya bagus,” kata Suhaeni.
Namun di lain sisi menurut Suhaeni, ada fakta lain yang menunjukkan meski kondisi ekonomi sulit tapi banyak orang tua yang tetap memprioritaskan pendidikan anaknya. Sehingga faktor yang juga penting menurutnya adalah perspektif yang kuat di masyarakat jika pendidkan adalah investasi masa depan untuk anak.
“Kebanyakan yang muncul karena orang tua ingin dampak yang instan terhadap pendidikan, mereka beranggapan pendidikan paling mentok cuma bisa baca tulis saja,” kata Suhaeni.
Selain kendala ekonomi, pernikahan juga menjadi salah satu faktor putus sekolah yang cukup tinggi. Suhaeni mengatakan lebih dari 10 % dari jumlah anak tidak sekolah di usia 13-18 tahun karena faktor menikah di usia muda.
Untuk persebaran jumlah anak tidak sekolah sebanyak 60% berada di Pulau Jawa. Mengingat populasi penduduknya memang sangat besar. Namun dari sisi persentase wilayah, daerah yang cukup tinggi untuk anak tidak sekolah ada di Indonesia bagian timur. “Terbanyak itu di Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur. Di Jawa dan Bogor banyak perkawinan dini,” katanya.
Untuk mengatasi kendala ekonomi, yang harus dilakukan menurutnya adalah memperkuat sistem persekolahan yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk mereka yang memiliki tingkat ekonomi rendah. Salah satunya dengan membantu memperkuat sekolah satu atap. Yaitu sekolah yang diluncurkan pemerintah untuk membantu transisi anak-anak dari Sekolah Dasar ke tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Sejak diluncurkan pada 2005, pemerintah sudah menjalanjan program sekolah satu atap yang khusus membantu anak-anak untuk transisi sekolah. Terdapat 5000 sekolah satu atap yang kini tersebar di daerah terpencil di Indonesia yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku secara nasional.
Namun, setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tantangan terberat menurut Suhaeni adalah memperlihatkan kepada orang tua bahwa sekolah satu atap itu memiliki kualitas yang bagus. “Kita memperlihatkan nilai tambah yang bisa diperoleh anak selain pembelajaran regular yang diberikan,” katanya.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi permasalahn putus sekolah menurut Suhaeni sudah mencapai kemajuan sangat signifikan. Jika dibanding sebelumnya program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang menjadi prioritas adalah anak tidak sekolah. Sekarang lebih baik lagi dengan adanya Kartu Indonesia Pintar yang memiliki kuota khusus pada anak yang putus sekolah. “Dulunya hanya diprioritaskan untuk anak yang di sekolah. Sehingga anak yang tidak sekolah semakin tertinggal,” katanya.
Sebagai organisasi yang mengurus masalah anak, Unicef sendiri memiliki gerakan Kembali ke Sekolah. Gerakan ini fokus untuk membantu anak-anak yang putus sekolah untuk bisa menyelesaikan pendidikan dasar. Selain itu, Unicef juga menjangkau anak usia 6-18 tahun, usia sekolah yang diidentifikasi dan mengembalikan ke sekolah.
Untuk permasalahan ini, Unicef fokus melakukan pemutakhiran data mengenai status pendidikan anak di suatu daerah. Setelah itu, Unicef akan melakukan advokasi ke pemerintah setempat untuk memberikan pendidikan kepada sang anak.
“Kan sekarang sudah ada dana desa yang jumlahnya besar, bisa menjadi cara untuk mengembalikan anak-anak yang putus sekolah di desa tersebut,” katanya.
Hanya saja yang memang menjadi tantangan adalah mengidentifikasi siapa dan di mana saja lokasi anak-anak yang putus sekolah. “Kalau pemerintah hanya punya data persekolahan yang hanya berisikan data yang sudah terdaftar di sekolah. Yang tidak sekolah siapa yang punya datanya?,” kata Suhaeni.
Unicef sendiri sejak sepuluh tahun terakhir telah melakukan proses pendataan yang terus dimodifikasi sesuai perkembangan zaman. Data yang ditemukan oleh Unicef kemudian dikembalika ke pemerintah daerah untuk ditindak lanjuti.