Kabar24.com, JAKARTA – Selain asmaraman Kho Ping Khoo yang terkenal dengan serial silatnya, Gerson Poyk adalah nama yang karyanya menemani minat baca saya, dulu.
Sejumlah cerpen yang muncul di majalah, terutama majalah wanita yang dilanggani kakak sepupu saya, menjadi santapan renyah mata saya.
Lahir di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931, saat SMP saya tak begitu hirau dengan usia seorang Gerson Poyk. Bagi saya, yang terpenting adalah karyanya, dan namanya ada dalam daftar sastrawan Indonesia.
Karya sastra membuat saya merasa dekat dengan seorang Gerson Poyk seperti saya mengenal sastrawan lainnya.
Begitulah, jika di luar kelas saya menjadi salah satu pembaca karya dia, maka di kelas saya menjadi pencari daftar angkatan sastrawan dan pujangga Indonesia dalam buku Intisari Sastera Indonesia, salah satu buku pegangan pelajaran Bahasa Indonesia.
Jumat, 24 Februari 2017 dalam usia 85 tahun, Gerson Poyk meninggak di Depok, Jawa Barat. Jauh, dari tanah kelahirannya. Tapi, betapa pun jauh jarak NTT dan Depok, Indonesia tetap menjadikan dua tempat ini sebagai satu wilayah yang sama. Tempat Gerson Poyk tumbuh sebagai salah satu sastrawan nasional, aset bangsa yang menularkan nilai-nilai kesusastraan pada banyak anak sekolah dan generasi muda di bawahnya.
Prestasi dan nama baik Gerson Poyk pun mendapat apresisasi khusus dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Gerson Poyk dilekatkan pada Taman Budaya Provinsi NTT di Kupang dengan nama Taman Budaya Gerson Poyk.
"Pemberian nama ini bagian dari penghargaan dari pemerintah NTT atas berbagai karya sastranya yang telah diciptakannya selama ini," kata Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Sabtu (25/2/2017) malam.
Gubernur Frans menilai meninggalnya Gerson Poyk memberikan duka yang mendalam bagi masyarakat NTT, khususnya bagi mereka yang mengenalnya secara dekat.
Orang nomor satu di NTT itu menambahkan diabadikan nama sastrawan Gerson Poyk itu merupakan bagian dari penghargaan yang diberikan karena telah mengharumkan nama NTT secara nasional.
"Banyak karya hebatnya yang menurut saya dapat menginspirasi para generasi muda NTT," katanya.
Terkait banyaknya permintaan dari sejumlah komunitas kesenian di kota Kupang yang mengharapkan agar jenasah Gerson Poyk dimakamkan di Taman makam pahlawan Dharmaloka, ia mengatakan membutuhkan waktu perudingan yang lama dan berbelit-belit.
"Saya punya pengalaman saat memakamkan alm. Pak Piet Tallo di Taman makam pahlawan, itu saja mendapatkan banyak penolakan," tuturnya.
Untuk bisa dimakamkan di TMP ada kriteria-kriteria khusus untuk dianggap sebagai pahlawan.
"Kita menghargai menghormati beliau sebagai seorang tokoh yang mengharumkan nama NTT. Tetapi kalau untuk memenuhi permintaan masyarakat untuk dimakamkan di TMP agak sulit," tuturnya.
Gerson Poyk lahir di Namodele Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT pada 16 Juni 1931.
"Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya yang dimuat di media massa dan dijadikan rujukan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
"Dia mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1950 dan atas prestasinya, ia menerima banyak penghargaan, baik sebagai sastrawan maupun wartawan."
Pendidikan terakhirnya SGA Kristen Surabaya, 1956 dan pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) serta Bima, Sumbawa (1958).
Dia juga pernah menjadi wartawan Sinar Harapan (1962-1970) dan selanjutnya pada 1970-1971, dia menerima beasiswa untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, serta sempat mengikuti seminar sastra di India pada 1982.
"Suami dari Atoneta Saba dengan lima anak itu, sepanjang hidupnya menghasilkan sederet karya sastra yang antara lain berjudul Hari-Hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Rajagukguk (1975), serta Nostalgia Nusa Tenggara (1976).
"Selain itu, Jerat (1978), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requim Untuk Seorang Perempuan (1981), Mutiara di Tengah Sawah (1984), Impian Nyoman Sulastri (1988), Hanibal (1988), serta Poli Woli (1988), dan sederet penghargaan atas karya-karyanya.
Gerson Poyk mengembuskan nafas terakhir di RS Hermina Depok, Jawa Barat, pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya dirawat intensif atas sejumlah penyakit yang dideritanya. Jenazah dijadwalkan diterbangkan ke Kupang pada Minggu (26/2) pagi.
Sementara itu, bergulir petisi yang meminta agar Gerson Poyk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan selain permintaan agar didirikan Perpustakaan Gerson Poyk di NTT.
Petisi tersebut didasarkan pada besarnya jasa dan karya Gerson poyk dalam memperkenalkan budaya NTT sebagai warna budaya di Indonesia, maupun Indonesia di mata dunia.
Gerson Poyk diniali sebagai guru, jurnalis, novelis, cerpenis dan budayawan yang setia menjalankan tugasnya hingga akhir hayat.
“Ia menolak tunduk didikte oleh paham materialisme dan bekerja untuk kemanusiaan sepanjang hidupnya. Berdasarkan puluhan karya sastra berupa novel, maupun ratusan cerpen, serta tulisan lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Jepang, Turki dan Rusia diberi tanda sebagai pahlawan. Mereka yang berkarya dan menjaga integritasnya semasa hidup tanpa tergiur rayuan materi dan setia menjalankan profesi mereka layak dimakamkan sebagai seorang pahlawan,” ujar bunyi pengantar petisi tersebut.
Sambil menunggu proses yang akan berjalan, saya meyakini Gerson Poyk dan karya-karyanya telah menjadi pahlawan bagi banyak orang.
Selamat jalan Opa Gerson Poyk.