Kabar24.com, DENPASAR - Peneliti mengingatkan agar pembangunan yang dilakukan di Indonesia tidak malah mendorong munculnya disintegrasi bangsa.
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan Windia, menilai pembangunan nasional yang hanya terpusat di Jawa-Bali atau "Jawa-Bali Sentris" dapat menyebabkan kesenjangan yang mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
"Pemberontakan separatis yang pernah terjadi di Indonesia pada awal kemerdekaan, embrio penyebabnya juga karena pembangunan Indonesia yang dinilai bersifat Jawa-Sentris, sehingga bisa membuat iri-hati daerah lain, yang akhirnya menjadi siklus petaka nasional," katanya di Denpasar, Rabu (18/1/2017).
Oleh sebab itu, Prof Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud itu sangat mengapresiasi pandangan Presiden RI Joko Widodo, yang mengeritik pembangunan yang hanya "Jawa dan Bali-Sentris".
"Sangat diinginkan agar pembangunan nasional bersifat Indonesia-Sentris, karena kesenjangan di Indonesia sudah mencapai titik 'lampu kuning' seperti tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa Indeks Gini Ratio di Indonesia adalah 0,41," katanya.
Banyak pihak menyebutkan bahwa batas lampu hijau dari Gini Ratio adalah 0,36. Oleh sebab itu, kesenjangan pendapatan dan regional adalah masalah utama dalam proses pembangunan di Indonesia.
Beberapa wacana juga menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan kesenjangan nomer empat di dunia. Lebih dari 49% kekayaan Indonesia dinikmati oleh hanya 1% penduduk. Data itu merupakan problem pembangunan yang pelik.
"Kita tidak boleh silau dengan hanya pertumbuhan ekonomi yang kini sedang terjadi di Indonesia, kalau penataan pembangunan masih membahayakan. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus digeser dengan lebih cepat ke daerah luar Jawa-Bali," katanya.
Ia mendukung kebijakan pembangunan yang mulai mengutamakan daerah perbatasan dan daerah-daerah terluar di Indonsia.
Batalkan Bandara dan Reklamasi Benoa
Dalam kaitan pemerataan pembangunan tersebut, Windia meminta kepada Presiden agar membatalkan pembangunan bandar udara (bandara) di Buleleng dan rencana reklamasi di Teluk Benoa, Kota Denpasar.
"Pembangunan itu hanya akan menambah sesak Pulau Bali, dan juga membuat iri daerah lainnhya di Indonesia. Masih banyak daerah lain di luar Jawa-Bali yang memerlukan sentuhan infrastruktur," katanya.
Windia menilai Bali saat ini sudah kelebihan kapasitas, yang bisa mengancam eksistensi kebudayaan Bali. "Pembangunan hotel yang semena-mena sudah menyebabkan berbagai efek negatif, di antaranya intrusi air laut, macet, sampah, dan migran.
Selain itu, hilang atau beralih fungsinya sawah di Bali mencapai 1.000 ha/tahun, hilangnya sistem pengairan tradisional bidang pertanian (subak), bangkrutnya pengusaha kecil di bidang pariwisata, dan berbagai dampak negatif seperti kriminalitas, penyakit, dan narkoba.
"Untuk itu, Bali perlu mengubah paradigma pembangunannya. Pemerintah pusat jangan terlalu lama mengandalkan Bali sebagai daerah wisata," ujar Prof Windia.