Kabar24.com, PEKANBARU – Kalangan aktivis lingkungan menilai kepolisian tetap dapat menjerat korporasi yang lahan konsesinya terbakar sekalipun pelaku pembakaran tidak ditemukan.
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Woro Supartinah mengatakan ketentuan itu tercantum dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Bahkan, pada 10 November, Kepala Polri Jenderal Pol. Tito Karnavian telah meneken Surat Edaran No. 15/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
“SE Kapolri itu kembali mempertegas bahwa apakah disengaja atau pun karena lalai, kebakaran yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dapat dipidana,” katanya dalam siaran pers, Selasa (20/12/2016).
Jikalahari menilai SE No. 15/2016 sebagai penegasan bahwa pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dapat dikenakan pendekatan multipintu mulai dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, hingga UU PPLH.
SE Kapolri Pasal 2 huruf e menyebutkan bahwa tindak pidana terkait karhutla dapat mencakup tindakan-tindakan berupa kesengajaan atau kelalaian dan dapat merupakan tindak pidana formil atau materil.
Karena itu, Woro berpendapat langkah Polda Riau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas 15 perusahaan dalam kasus karhutla bertentangan dengan SE Kapolri. Bahkan, menurut dia, beleid tersebut dapat menjadi bukti baru (novum) bagi bagi Polda Riau untuk kembali melanjutkan penyidikan 15 korporasi.
Jikalahari menemukan bahwa konsesi 15 perusahaan tersebut memang terbakar, sedangkan mereka tidak memiliki sarana-prasana pencegahan dan penanggulangan karhutla yang memadai. Selain itu, konsesi 10 perusahaan yang terbakar berada di lahan gambut yang berakibat erlampauinya baku mutu udara dan kerusakan lingkungan hidup.