Kabar24.com, JAKARTA - Puluhan calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi nampaknya harus berpikir ulang apakah akan terus maju atau mengurungkan niatnya mengikuti seleksi.
Pasalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FH UI) menyatakan 49 calon hakim adhoc Tipikor tidak layak.
"Dari sekitar 60 calon yang kami telusuri, 49 calon kami masukkan ke dalam kategori 'merah'," ujar peneliti ICW Aradila Caesar di Gedung Mahkamah Agung Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Hal itu dikatakan Aradila ketika menyampaikan hasil penelusuran rekam jejak atas 60 calon hakim kepada Hakim Agung Artidjo Alkostar, selaku Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Calon Hakim Ad Hoc Tipikor tahun 2016.
"Nah kita melakukan kategorisasi terhadap 60 calon ini 3 kategori. 'Merah' artinya tidak perlu dilanjutkan atau tidak direkomendasikan sama sekali. Kemudian 'kuning' dapat dipertimbangkan, kemudian 'hijau' yang kita rekomendasikan," ucap Aradila.
Aradila menjelaskan bahwa kategorisasi tersebut dilakukan berdasarkan integritas, kompetensi, dan independensi para calon hakim adhoc Tipikor.
"Apakah calon anggota partai politik, pernah caleg, dan sebagainya itu tentu jadi pertimbangan," katanya.
Dari pertemuan dengan Artidjo tersebut, Aradila menjelaskan bahwa sudah ada kesepakatan bahwa calon yang merupakan calon legislatif, maupun pernah menjadi anggota partai politik, sepakat untuk dicoret terkait dengan persoalan independensi.
Integritas dikatakan Aradila menjadi titik penting untuk mengetah atau tidak.
"Memang sudah kita temukan beberapa nama calon yang sangat bermasalah menurut kami integritasnya sangat diragukan," jelas Aradila.
Terkait jumlah hakim yang ditelusuri, Aradila mengakui bahwa pihaknya hanya dapat menelusuri 60 orang dari 85 orang calon hakim ad-hoc Tipikor, karena 25 orang calon lainnya berasal dari daerah dan tidak terlalu terkenal.
"Kami kesulitan untuk menelusuri rekam jejaknya, kami tidak bisa tracking jadi kami meminta Pansel untuk mendalami sendiri," pungkas Aradila.
Dalam proses penelusuran rekam jejak, Mahkamah Agung meminta beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk membantu, termasuk ICW dan MAPPI FHUI.