Kabar24.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan proses radikalisasi anak pelaku terorisme terjadi di dalam rumah tahanan karena terjadinya interaksi dan doktrinasi dari narapidana terorisme dewasa.
Sementara Undang-Undang mengatur anak pelaku terorisme dikualifikasi sebagai korban yang harus mendapat perlindungan khusus. Penanganannya pun harus mengedepankan pendekatan pemulihan (restorative justice).
"Ini PR besar bagi kita semua dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia. Di satu sisi kita harus keras memberi hukuman terhadap pelaku demi melahirkan efek jera, namun di sisi lain kita harus memutus mata rantai terorisme anak dengan pendekatan rehabilitatif dan restoratif," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis, saat melakukan kunjungan ke Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (28/9/2016).
Menurutnya, khusus terhadap anak yang terpapar ajaran terorisme, harus ada pendekatan khusus, yaitu pendekatan pemulihan (restoratif) bukan pendekatan penghukuman dan pemenjaraan sebagaimana orang dewasa yang dijerat kasus terorisme.
"Ini harus menjadi konsen kita bersama. Untuk menangani masalah ini, KPAI dan BNPT saling menjalin komunikasi guna merumuskan mekanisme dan model pencegahan dan penanggulangan anak-anak yang terpapar terorisme dengan pendekatan re-edukasi," jelasnya.
Kasus IAH (terdakwa terorisme anak di Medan) yang sekarang sedang proses peradilan, harus dijadikan momentum untuk penerapan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Oleh sebab itu, Jaksa dan Hakim harus berpedoman dan mengedepankan prinsip-prinsip restoratif justice seperti tertuang dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam pertimbangan dan putusannya.
"Apalagi, anak sudah mengaku salah, menyesali perbuatannya, meminta maaf, dan meminta untuk dibina. Ini adalah momentum besar untuk menyelamatkan anak dari doktrinasi yang lebih mendalam. Jaksa dan hakim punya kewajiban untuk pemulihan," kata Niam.