Kabar24.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mantan Ketua DPR Setya Novanto terkait penafsiran Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan, alat bukti rekaman yang bukan berasal dari aparat penegak hukum tidak bisa digunakan untuk proses penyidikan. Artinya, kalaupun digunakan untuk proses tersebut, harus seizin aparat penegak hukum.
“Informasi elektronik atau dokumen elektronik seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti untuk penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum lainnya,” kata Hakim Konstitusi Arief dalam membacakan putusannya di Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Dikabulkannya permohonan politisi Partai Golkar itu secara tidak langsung menunjukkan, alat bukti berupa rekaman dari bekas Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin tidak bisa digunakan dalam proses penyelidikan dugaan pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Novanto.
Adapun, permohonan tersebut disetujui oleh tujuh dari sembilan hakim konstitusi. Sedangkan dua lainnya menyatakan menolak permohonan tersebut. Dalam pertimbangannya, salah satu hakim konstitusi yakni Edmon Makarim mengatakan, dalam konteks pasal 5, informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah jika memenuhi syarat yaitu bisa diakses, dapat ditampilkan, dijamin kebutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hakim menganggap, dalam perkara Novanto, sesuai dengan rezim intellectual property right sesuatu yang direkam oleh orang lain merupakan milik orang yang direkam atau dengan kata lain hak cipta tetap di orang yang direkam. Sehingga, apabila pengungkapan rekaman itu dilakukan sembarangan, orang yang direkam dapat menggugat pengunggahnya karena telah melanggar privasi.
Senada dengan Edmon, hakim konstitusi Henry Subiakto tak menampik jika semua transaksi digital bisa dijadikan alat bukti. Namun demikian, jika ada suatu komunikasi dan hal itu sifatnya privat, kemudian salah satu membuka isi percakapan bisa diseret ke tindakan pidana, karena mengumbar privasi seseorang.
“Undang-Undang ITE sudah melarang membocorkan pembicaraan privat, apabila dilakukan, bisa dipidana,” katanya.
Pandangan Lain
Berbeda dengan kedua hakim itu, Hakim Konstitusi I Dewa Palgunadi justru memiliki pandangan lain, hanya saja dia tak masuk ke substansinya. Dia lebih menyoroti soal legal standing dari bekas ketua dewan tersebut.
Menurutnya, sebagai seorang anggota Dewan, semestinya Novanto tak memiliki hak untuk mengajukan uji materi Mahkamah Konstitusi. Anggota dewan adalah pembuat undang-undang. Karena itu, mahkamah seharusnya menyatakan permohonan tidak bisa diterima.
Selain soal pasal UU ITE tersebut, MK kemarin juga mengabulkan uji materi Novanto lainnya yakni soal “pemufakatan jahat”.
Dalam perkara itu, hampir seluruh hakim mengabulkan permohonan politisi yang kerap disapa Setnov itu. Majelis hakim menganggap Setyo Novanto tidak memiliki kapasitas untuk memperpanjang izin PT Freport Indonesia. Menurut hakim, yang semestinya memiliki kapasitas tersebut adalah pemerintah.
Dalam amar putusan misalnya, hakim menyatakan, suatu pemufakatan jahat akan dilakukan jika dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama saling bersepakat untuk melakukan tindak pidana.