Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SUAP PANITERA PN JAKPUS: Edy Nasution Ikut Bantu Perkara Paramount

Edy Nasution disebut ikut membantu pembatalan eksekusi tanah milik perusahaan properti PT Paramount Enterprise International.
Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution./Antara-Sigid Kurniawan
Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution./Antara-Sigid Kurniawan

Kabar24.com, JAKARTA - Jaksa mengungkap peran Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dalam persidangan kasus suap panitera PN Jakarta Pusat.

Edy Nasution disebut ikut membantu pembatalan eksekusi tanah milik perusahaan properti PT Paramount Enterprise International.

Hal itu terungkap dalam surat tuntutan Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno yang dituntut 5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.

Doddy dituntut 5 tahun penjara karena menyuap Panitera PN Jakpus Edy Nasution sebesar Rp150 juta untuk mengurus tiga perkara yang dihadapi Lippo Group, salah satunya perkara pembebasan lahan tersebut.

"Pada bulan November 2015, Ervan Adi Nugroho (Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International yang juga direktur PT Jakarta Baru Cosmopolitan, selaku pemilik lahan bermasalah) memperoleh surat PN Jakarta Pusat perihal permohonan eksekusi lanjutan yang belum didistribusikan, atas surat tersebut Ervan Adi Nugroho meminta kepada Wresti Kristian Hesti untuk mempelajari surat tersebut dan "memending" atau menunda pelaksanaan putusan tersebut dengan meminta tolong kepada Edy Sindoro," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Titto Jaelani.

Doddy, menurut jaksa, adalah asisten Edy Sindoro yang sering ditugaskan untuk mengantar dokumen termasuk uang kepada pihak-pihak lain sesuai perintah Edy Sindoro.

Sedangkan Wresti Kristian Hesti adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah yang salah satu tugasnya melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain terkait perkara atas perintah Edy Sindoro.

Eksekusi itu berdasarkan putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937 pada November 2014 dan 16 Februari 2015 kuasa hukum ahli waris Tan Hok Tjian mengajukan surat ke PN Jakarta Pusat mengenai permohonan eksekusi putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937.

Jaksa menyatakan Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris kelompok bisnis Lippo yang pernah menduduki sejumlah jabatan penting di kelompok usaha Lippo Group, seperti Wakil Presiden Direktur dan CEO PT Lippo Cikarang Tbk, Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk, Presiden Komisaris PT Pacific Utama Tbk, Komisaris PT Lippo Karawaci Tbk dan sejumlah anak perusahaan lainnya.

"Kemudian Wresti Kristian Hesti mempelajari surat tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho yang intinya bahwa pada kalimat akhir surat tersebut isinya harus disamakan dengan surat PN Pusat terdahulu dengan mengubah kalimat dalam surat tersebut dari 'belum dapat disekskusi' diganti dengan 'tidak dapat dieksekusi'," tambah jaksa Titto.

Menindaklanjuti permintaan tersebut, Wresti selanjutnya menemui Edy Nasution dan menyampaikan permintaan Ervan Adi Nugroho untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan tersebut kepada Edy Nasution atas permintaan tersebut Edy Nasution menyampaikan bahwa surat tersebut belum dikirim ke mana-mana.

Atas jasa tersebut Edy Nasution mendapatkan imbalan Rp50 juta.

Selain mengurus perkara tanah Paramount, Edy juga mengurus pengajuan Peninjauan Kembali (PK) perkara Niaga PT AAL melawan PT First Media.

Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung 31 Juli 2013 PT AAL dinyatakan pailit.

Atas putusan kasasi tersebut hingga batas waktu 180 hari PT AAL tidak melakukan upaya PK.

Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hong Kong, Eddy Sindoro pada pertengahan Februari 2016 memerintahkan Wresti melakukan pengajuan PK meski waktunya sudah lewat.

Wresti menemui Edy Nasution pada 16 Februari untuk menerima pendaftaran PK PT AAL dan menawarkan sejumlah uang sehingga pada 30 Maret 2016 berkas PK Perkara niaga AAL dikirim ke Mahkamah Agung.

"Di mana sebelum berkas perkara dikirim, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi Sekretaris Mahkamah Agung RI yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA," kata Jaksa Tito Jaelani.

Perkara lain yang diurus Edy Nasution adalah agar menunda proses pelaksanaan 'aanmaning' (peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan putusan pengadilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Kwang Yang Motor Co.LtD (PT Kymco) dengan imbalan Rp100 juta.

Berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP melakukan wanprestasi dan wajib membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar 11,1 juta dolar AS.

Namun PT MTP belum melakukan kewajibannya sehinga PT KYMCO pada 24 Desember 2013 mendaftarkannya ke PN Jakpus agar segera dieksekusi. Atas pendaftaran tersebut PN Jakpus menyatakan putusan SIAC dapat dieksekusi di Indonesia. Namun PT MTP tidak hadir saat dipanggil PN Jakpus pada 1 September 2015 sehingga dipanggil ulang pada 22 Desember 2015.

Eddy memerintahkan bagian legal PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti untuk mengupayakan penundaan 'aanmaning'. Wresti pun pada 14 Desember menemui Edy Nasution pada 14 Desember 2015 dan meminta penundaan. Atas permintaan itu Edy Nasution mendapatkan uang Rp100 juta yang dikeluarkan Direktur PT MTP Hery Soegiarto. uang diberikan oleh Doddy kepada Edy Nasution pada 18 Desember di Basement Hotel Acacia Senen Jakarta Pusat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper