Kabar24.com, JAKARTA - Indonesia dinilai sudah saatnya memiliki protokok khusus untuk menangani kasus penyanderaan WNI.
Menurut pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib, mekanisme tanggap darurat perlu dimiliki pemerintah demi menyikapi sebuah kasus penyanderaan.
Hal itu , menyusul kasus penyanderaan tujuh warga negara Indonesia oleh kelompok bersenjata.
"Pemerintah tampak belum memiliki mekanisme tanggap darurat ketika sebuah kasus penyanderaan terjadi," ujar Ridlwan di Jakarta, Senin (27/6/2016).
Sebelumnya, kelompok bersenjata di Filipina dikabarkan menyandera tujuh anak buah Kapal TB Charles dari Samarinda saat melintas di perairan Filipina. Peristiwa penyanderaan ini adalah peristiwa penyanderaan ketiga kalinya terhadap WNI.
"Berbeda dengan dua kasus penyanderaan sebelumnya, respons pemerintah terlihat gagap dan kurang siap terhadap kasus ini," ujar Ridlwan.
Ridlwan menekankan pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla dan Panglima TNI sempat menyangkal adanya penyanderaan. Pemerintah baru bersikap ketika kabar simpang siur terjadi.
"Baru setelah simpang siur, Pak Luhut (Menkopolhukam) membuat crisis centre," ujar dia.
Dia menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem operasi intelejen pada beberapa lini.
"Kita sempat dipuji dunia internasional ketika sukses membebaskan 14 WNI. Saat ini kita diuji lagi dengan kasus tujuh WNI, maka jangan lengah," ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.
Di sisi lain Ridlwan juga menilai penyanderaan terhadap tujuh WNI cukup janggal karena pihak penyandera kali ini meminta tebusan dalam bentuk ringgit bukan dolar atau peso. Selain itu, kelompok bersenjata juga hanya menawan tujuh orang dan membiarkan kapal beserta enam orang lainnya pulang.