Kabar24.com, JAKARTA- Kementerian Dalam Negeri mencatat umlah regulasi di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah yang telah dibatalkan lantaran terindikasi menghambat iklim usaha baru mencapai 794 aturan atau baru seperempat dari 3000 regulasi yang dikatakan Presiden Joko Widodo.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pudjianto mengatakan 794 regulasi yang telah dibatalkan itu terdiri dari 276 aturan yang berasal dari Kemendagri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri), temrasuk aturan mengenai izin gangguan atau hinder ordonnantie (HO).
“Masih banyak regulasi yang masuk dan tengah kita telaah. Jadi prosesnya masih berjalan. Harapan kami semoga hingga Juni jumlahnya bisa mendekati angka yang ditargetkan Presiden,” ungkapnya, Kamis (12/5).
Dia menjelaskan, seluruh regulasi tersebut dibatalkan secara bertingkat sesuai dengan strata pemerintahan. Perda yang diterbitkan oleh kabupaten atau kota dibatalkan oleh gubernur sementara perda provinsi dibatalkan oleh kementerian.
“Kalau gubernur tidak mau membatalkan maka kementerian akan mengambil langkah pembatalan dan dibenarkan menurut aturan,” tambahnya.
Sigit memaparkan, hasil telaah dari berbagai regulasi bermasalah yang telah dibatalkan itu telah dikirimkan ke berbagai instansi termasuk ke penegak hukum dan lembaga audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurutnya, hal itu dilakukan agar berbagai instansi tersebut mengetahui mana saja regulasi yang telah dibatalkan oleh Kemendagri sekaligus untuk mengantisipasi pemberlakuan kembali regulasi tersebut oleh pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dalam proses pembatalan, menurutnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang mempertanyakan kebijakan itu dilakukan oleh Kemendagri padahal ada mekanisme pembatalan yang bisa dilakukan oleh pemda. Katanya, langkah itu dilakukan dengan pertimbangan efisiensi waktu.
“Kalau pemda yang membatalkan sendiri, mekanismenya harus dibicarakan dengan DPRD setempat. Butuh proses bahkan bisa jadi tidak dibatalkan,” ungkapnya.
Dia juga berharap agar masyarakat termasuk kalangan pengusaha agar turut proaktif melaporkan regulasi di tingkat daerah yang dianggap menghambat iklim investasi di daerah dan akan ditindaklanjuti oleh jajarannya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mempertanyakan review berjenjang yang diterapkan oleh pemerintah provinsi dan pusat, khususnya Kemendagri ketika sebuah perda disusun oleh pemda.
Lolosnya perda-perda yang bermasalah itu menurutnya patut dipertanyakan apakah peran pengawasan telah dilakukan secara seksama atau tidak.
“Saya pikir Kemendagri perlu terbuka untuk mempublikasikan berapa banyak perda mengenai ekonomi yang telah direview agar publik paham dan bisa mengontrol. Di samping itu juga agar pemda mengetahui alasan pembatalan dari pusat,” ucapnya.
Jika pemda tetap bersikeras melaksanakan perda yang telah dicabut, maka pemerintah pusat harus memberikan sanksi berupa pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) atau saksi administratif berupa penundaan gaji kepala daerah dan anggota legislatif daerah.