Kabar24.com, JEMBER - Pembatalan pembahasan revisi UU KPK dinilai tidak masuk akal selama tidak disertai alasan yuridis yang mendasar.
Pengamat hukum Universitas Jember Dr Nurul Ghufron mengatakan semua pihak harus menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari "bola panas" revisi Undang-Undang lembaga antirasuah itu yang kini sepakat ditunda.
"Penundaan pembahasan rancangan Undang-Undang perubahan Undang-Undang KPK oleh Presiden dan DPR seharusnya dijelaskan secara yuridis, namun hal itu tidak disampaikan kepada publik," kata akademisi yang akrab disapa Ghufron saat dihubungi dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (23/2/2016).
Menurutnya, pemerintah dan DPR harus menyampaikan secara transparan alasan penundaan itu, apakah karena tanggapan meluasnya penolakan masyarakat untuk merevisi UU KPK atau ada alasan lain.
"Dilihat dari kaca mata hukum, penundaan pembahasan revisi UU KPK seharusnya ada alasan substansi untuk memperbaiki atau menyempurnakan rancangan atau draf UU yang ditolak oleh masyarakat itu, namun kalau hanya alasan perlu sosialisasi saja, itu tidak masuk akal," ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Ia mengatakan, apabila alasannya hanya sekadar menunda untuk mengedepankan penolakan tanpa ada proses perbaikan apapun, maka hal tersebut tidak berdasar dan tidak bisa digunakan sebagai alasan kuat untuk penundaan revisi UU.
"Kalau hal itu yang terjadi, maka penundaan itu bersifat politis dan penundaan tersebut perlu diwaspadai oleh masyarakat karena tidak ada jaminan ambisi untuk merevisi UU KPK itu tidak akan muncul lagi," katanya.
Jika benar-benar direvisi, lanjut dia, maka semua pihak harus mengawal muatan materi revisi tersebut, agar semakin baik dan benar dalam memberantas korupsi, bukan sebaliknya melemahkan lembaga antirasuah itu.
Ghufron juga menyayangkan pernyataan Ketua KPK Agus Rahadrjo yang akan mengundurkan diri dari jabatannya, apabila revisi UU KPK tetap dilanjutkan oleh DPR.
"Hal itu tidak layak bagi seorang pejabat negara yang bersumpah taat kepada peraturan dan perundang-undangan. Kemudian menggunakan cara-cara ancaman mundur untuk menekan kekuasaan negara sangat tidak etis dalam praktik ketatanegaraan," tegasnya.
Untuk itu, KPK harus berani menunjukkan sebagai lembaga negara penegak hukum, sehingga pimpinannya harus memberi contoh taat dan patuh pada apapun hukum di Indonesia, termasuk UU KPK yang akan direvisi.
"Biarlah tokoh masyarakat, ormas, dan LSM yang memberikan tekanan kepada pemerintah dan DPR untuk penolakan revisi UU KPK itu," imbuh pakar hukum pidana itu.
Ia menjelaskan KPK adalah kekuasaan penegak hukum, sehingga masyarakat wajib membela dan menjaga KPK untuk menegakkan hukum, kemudian KPK tidak boleh menekan pihak-pihak yang berwenang membentuk UU untuk menambah, mengurangi, atau mempertahankan kewenangannya dalam lembaga antirasuah itu.
Pemerintah dan DPR menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, namun tidak akan menghapusnya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).