Kabar24.com, JAKARTA - Keputusan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK diharapkan bersifat final dan tidak muncul kembali pada periode DPR RI, selama kajian akademik belum ada.
Hal itu usulkan Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad terkait pro-kontra revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang telah menghabiskan energi dan waktu saja.
"Wacana revisi UU KPK selalu muncul di setiap periode DPR RI maupun pemerintahan, tapi pada akhirnya surut kembali karena adanya desakan publik," kata Farouk Muhammad, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Menurut Farouk, perubahan UU diperlukan ketika ada celah hukum yang muncul dan adanya kajian akademik yang bertanggung jawab.
Revisi UU KPK, kata dia, mungkin saja diusulkan oleh legislatif, tapi harus didahului kajian akademik secara ilmiah dan komprehensif, baik menyangkut kajian filosofis, yuridis, maupun sosiologis.
"Apakah DPR RI membuat kajian akademik dengan meminta bantuan universitas atau melibatkan seluruh stakeholder seperti MPR, Presiden, MK, MA, Kejaksaan Agung, dan Polri, agar memiliki argumentasi yang baik," katanya.
Mantan Gubernur Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini menilai, usulan revisi UU KPK hendaknya tidak dilihat dari aspek politik saja, tapi juga mempertimbangkan secara objektif terhadap kinerja lembaga penegak hukum yang lain dan sesuai dengan dinamika yang berkembang.
"Pemerintah dan DPR agar cermat dalam merevisi UU KPK," katanya.
Secara retoris Farouk mempertanyakan, apakah layak usulan perubahan suatu kebijakan publik, seperti merevisi UU KPK hanya berdasarkan beberapa ekses negatif, tanpa melalui kajian akademik yang komprehensif, transparan, dan dilandasi semangat akuntabilitas publik.