Kabar24.com, DEPOK - Beberapa kalangan menyetujui revisi Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan tidak melanggar hak asasi manusia dalam poin-poin yang diusulkan.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menuturkan regulasi ihwal pemberantasaan terorisme tersebut perlu diperbaiki dan disempurnakan lantaran ketika pada saat dirinya menjabat menteri tersebut regulasi dibuat dalam waktu cepat dan tergesa-gesa.
"Hanya saja kalau pun memang direvisi jangan sampai ada pasal yang melanggar HAM, meskipun terorisme itu sendiri melanggar HAM," ujarnya pada Bisnis seusai diskusi bertajuk Penegakan Hukum Setelah Reformasi: Paradoks Penegakan Hukum dalam Penanganan Terorisme antara Perlindungan HAM dan Perlindungan Warga Negara, Kamis (18/2/2016).
Dia menjelaskan pada 2001 Kementerian Kehakiman dan HAM telah mendraf rancangan UU tentang terorisme dengan mengedepankan HAM sejalan dengan arus reformasi. Namun, pada awal Oktober 2002 terjadi bom Bali tetapi belum ada aturan khusus yang mengatur terorisme dan belakangan lahir Perpu Terorisme No 1/2002.
Saat itu terjadi perdebatan di Istana karena intelijen meminta kewenangan untuk bertindak. Padahal, intel hanya bisa mendeteksi tetapi tidak bisa menangkap seperti di Amerika Serikat.
"Dengan demikian, saat ini pun intelijen disarankan cukup memberikan informasi dan menganalisa dugaan terorisme untuk diserahkan ke polisi. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses pemberantasan terorisme yang berlarut-larut," ujarnya.
Seperti diketahui, setidaknya sudah ada 12 poin revisi UU tentang teroris yang dinilai krusial oleh pemerintah. Rencananya, poin-poin tersebut yang berisi mulai dari larangan memperdagangkan bahan peledak, berhubungan dengan organisasi radikal, berlatih militer di luar negeri, mengembangkan ajaran radikalisme hingga larangan memperjualbelikan bahan potensial sebagai bahan peledak akan diserahkan ke pihak legislatif.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengatakan revisi UU teroris harus sesuai substansi yakni bersifat tegas agar aparat melakukan tindak proaktif.
Menurutnya, seharusnya segala gerak-gerik yang mencurigakan terkait dengan terorisme ditindak tegas dan dipenjarakan dengan tidak keluar dari jalur pelanggaran HAM.
"Jadi yang paling penting dalam menindak terorisme adalah mempidanakan segala persiapan teroris. Ini sifatnya proaktif. Jadi bukan ketika teroris sudah lakukan peledakan baru ditindak, bukan reaktif begitu," paparnya.
Dia mengakui dalam menangani kasus terorisme pihaknya kerap dipersalahkan lantaran dinilai lambat menindak. Pihaknya sering disebut kecolongan ketika ada tindakan terorisme. Sementara, kata dia, untuk tidak kecolongan justru kita harus ditangkap dulu pelaku yang mencurigakannya.
Namun, lanjutnya, aturannya hanya menjelaskan penahanan hanya berlaku tujuh hari. Padahal waktu ideal penahanan terduga teroris dengan segala bukti yang ada minimal 30 hari untuk ditindak mulai dari proses pengumpulan bukti hingga penetapan.
Dia menambahkan pelaku terorisme merupakan korban dari para penganut takfiriah atau kalangan yang kerap mencap kaum lain kafir gara-gara tidak menganut paham Islam secara menyeluruh.
"Maka apabila ingin mencegah penyebaran terorisme, orang-orang yang menyebarkan sebutan kafir pada orang lain melalui khotbah di tempat ibadah maupun di penjara sekalipun harus ditangkap sebelum meluas. Intinya dalam pencegahan jangan dibedakan tetapi harus tetap dalam koridor hukum," ujarnya.
Sementara itu, anggota Kompolnas Adrianus Meliala menuturkan dengan adanya revisi UU terorisme tersebut akan membantu penegakan hukum kepolisian. Namun, kata dia, setiap penambahan kewenangan dalam revisi tersebut harus diiringin dengan akuntabilitas lembaga agar alat kontrol penegakan hukum lebih baik lagi.
"Jadi intinya kami ingin ada hitam di atas putih agar penegakan hukum terkait terorisme ini tidak melanggar HAM," paparnya.