Kabar24.com, JAKARTA - Anggota DPR dan pejabat daerah sering menjadi sasaran Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Para elite tersebut sebagian besar terlibat kasus suap untuk memuluskan anggaran pembangunan di suatu daerah.
Hal itu tampak dari data KPK sepanjang tahun 2014 hingga 2016. Lembaga antirasuah tersebut telah mengungkap 11 kasus OTT yang melibatkan para wakil rakyat dan penguasa daerah. Dari 11 kasus tersebut, 35 orang telah ditangkap, sebagian dijebloskan ke penjara oleh KPK.
Fenomena kongkalikong itu ditanggapi Febri Hendri, pegiat korupsi dari Indonesia Coruption Watch (ICW). Menurut dia, praktik tersebut merupakan sesuatu yang lazim terjadi.
"Faktanya memang demikian, itu sudah jamak, publik pun sudah tahu," ujar dia kepada Bisnis, Minggu (24/1/2016).
Keterlibatan elite DPR dalam kasus suap berbagai proyek daerah itu tak lepas dari kewenangan budgeting yang mereka miliki.
Melalui kewenangan tersebut, mereka berupaya menancapkan pengaruh dalam setiap proyek di daerah. Bahkan tak jarang para wakil rakyat itu menjadi makelar proyek pembangunan tersebut.
Salah satu kasus yang memperlihatkan praktik tersebut yakni kasus operasi tangkap tangan terhadap Dewie Yasin Limpo beberapa waktu lalu.
Dewie ditangkap oleh KPK karena menerima suap dari penguasaha asal Sulawesi Selatan Setiady Jusuf dalam proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
"Dari kewenenangan itu, mereka mencoba menawarkan pengaruhnya kepada elite daerah bahkan swasta untuk memasukkan proyek ke dalam anggaran negara," terang Febri.
Selain itu, sebagai pemegang hak budgeting, kewenangan mengontrol pembangunan di daerah sangat besar. Mereka lihai memerankan peran untuk meminta sejumlah uang guna memuluskan proyek di suatu daerah.
Belum lagi sebagain besar elite DPR merupakan putra asli daerah.
Posisi itu dimanfaatkan untuk memasukan kepentingan daerah dalam pembahasan anggaran di DPR.
"Inilah sumber kasusnya, praktik tersebut masih langgeng seiring pengungkapan kasus tersebut," jelas Febri.
Di sisi lain, terutama bagi daerah, kelambanan birokrasi dan keterbatasan akses mereka untuk menikmati APBN membuat penguasa daerah setaraf Bupati dan Gubernur melakukan jalan pintas.
Mereka bekerjasama dengan para wakil rakyat untuk membuka akses sumber dana di dalam dewan untuk membiayai proyek di daerah mereka masing-masing.
"Ya ada benarnya juga, kelambanan birokrasi membuat mereka (eilite daerah) memikirkan jalan pintas tersebut," terang dia.
Saking gamblangnya praktik suap tersebut, Febri mengatakan, sebenarnya KPK tak terlalu sulit untuk mengungkap praktik kongkalikong tersebut, bahkan dia mengistilahkan KPK tak perlu berburu di hutan, cukup berburu di kebun binatang.
"Wujudnya nyata dan gamblang, KPK tinggal menentukan mana yang akan ditangkap. Sangat gampang," imbuh dia.
Meski demikian, berbagai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK patut diapresiasi.
Dia juga menilai langkah KPK saat ini sudah sangat tepat.
Namun demikian, dia juga meminta agar praktik ini tidak hanya terjadi dalam level daerah saja, tetapi level yang disebutnya sebagai koruptor "kelas kakap" juga harus diperlakukan sama.
"Sudah sangat tepat, praktik tersebut harus tetap dipertahankan dan digunakan untuk mengungkap kasus yang lebih besar," imbuh dia.